Sabtu, 19 Juni 2010

Incar Kekuasaan, Iran Persenjatai Pasukan Syi'ah Afghanistan

KABUL (Berita SuaraMedia) – Sejumlah sumber di Afghanistan memperingatkan bahwa pemerintah Iran kini menggerakkan pasukan yang setia pada tokoh-tokoh Afghanistan dari etnis Tajik dan bisa berbahasa Farsi, seperti Burhanuddin Rabbani, dan Ahmad Shah Masood.
Mereka mengungkapkan bahwa dukungan tersebut bertujuan agar Iran bisa menggunakan pasukan mereka untuk menyingkirkan Taliban setelah NATO mengumumkan kekalahan dan menarik diri dari Afghanistan.

"Iran tidak akan memperbolehkan pasukan Taliban yang memiliki kendali lebih luas melampaui pasukan yang setia dengan doktrin radikal Syi'ah serta berorientasi komunis dan memiliki pengaruh di utara serta memiliki perwakilan dalam pemerintahan Afghanistan," kata sumber-sumber itu.

Menurut mereka, pemerintah Iran memberikan dukungan penuh terhadap pasukan komandan Ahmad Shah Masood. Sumber-sumber itu menambahkan, Iran juga menjalin kesepakatan dengan pasukan AS untuk mendukung dan memperkuat pasukan itu untuk melawan Taliban setelah pasukan asing mundur dari Afghanistan.

Mereka mengatakan, kualitas dan kuantitas senjata dan perlengkapan militer pasukan yang setia kepada Masood meningkat pesat.

Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979, hal itu menyatukan kelompok-kelompok mujahidin di Afghanistan, dengan dukungan Pakistan, Arab Saudi, AS - dan secara terpisah, Iran – yang akhirnya mampu mengusir Soviet dan menghancurkan rezim yang mereka tinggalkan.

Saat musuh bersama dapat ditaklukkan pada 1992, faksi-faksi mujahidin saling berseteru, mengakibatkan perang sipil yang diyakini menewaskan 50.000 orang.

Pada 1992, mujahidin yang memenangkan perang sepakat menunjuk Burhanuddin Rabbani sebagai presiden selama satu tahun. Tapi, Rabbani bertahan hingga empat tahun, dalam masa-masa itu pasukan panglima perang Pashtun Gulbuddin Hekmatyar melancarkan perang yang membuat ibu kota Afghanistan menjadi puing-puing dan menewaskan ribuan orang. Terkadang pasukan milisi Uzbek dari Jenderal Rashid Dosturn, bekas kepala keamanan rezim yang didirikan Soviet, bergabung dengan pasukan Hekmatyar.

Akhirnya, dengan dukungan militer langsung dari Pakistan dan dukungan keuangan dari Arab Saudi, Taliban berkuasa pada 1996, bersumpah akan mengakhiri pertumpahan darah.

Mereka menyingkirkan Rabbani dan juga musuh-musuhnya, memenangkan dukungan sebagian besar panglima perang lokal yang mendominasi kawasan pedesaan Afghanistan.

Pasukan Rabbani yang terguling akhirnya bergabung dengan pasukan mujahidin Hazari Syi'ah yang didukung oleh Iran, ditambah dengan milisi Dosturn. Bersama, mereka menciptakan gerakan Aliansi Utara yang menguasai Kabul setelah AS melakukan invasi dan menggulingkan pemerintahan Taliban.

Tidak ada etnis mayoritas di Afghanistan. Suku Pashtun adalah golongan terbesar mencapai 38 persen populasi, tapi, sama halnya dengan suku Tajik (25 persen), Hazara (19 persen), dan Uzbek (6 persen), mereka adalah bagian dari kelompok yang sebagian besar tinggal di negara lain.

Sebagian besar etnis Pashtun tinggal di Pakistan, Tajik di Tajikistan, Uzbek di Uzbekistan, dan meski Hazara tidak memiliki ikatan secara etnis dengan Iran, paham Syi'ah yang mereka anut membuat mereka memiliki identitas yang sama dengan Iran, terpisah dari suku-suku Afghanistan.

Dalam menyusun pendekatan baru terhadap perang di Afghanistan, para petinggi militer dan politik AS mengatakan Iran – yang pernah disebut sebagai salah satu poros kejahatan oleh mantan presiden AS George W. Bush – bisa memainkan peranan penting.

Meski ada kekhawatiran mengenai program nuklir dan tudingan mempersenjatai milisi di kawasan tersebut, Jenderal David H. Petraeus, komandan pasukan AS di Afghanistan, mengatakan Washington dan Iran bisa bersatu dalam upaya menstabilkan Afghanistan.

Laksamana Mike Mullen, kepala staf gabungan AS, mengulang kembali penegasan itu pada Januari 2009. Negara-negara sekutu NATO juga memiliki keinginan menyertakan Iran dalam pengambilan keputusan strategi Afghanistan. Para anggota dewan Jerman menyerukan pendirian "kelompok kontak" yang terdiri dari beberapa negara untuk menciptakan jalur regional. "Inisiatif semacam itu, yang akan menyertakan Iran, akan menguntungkan jika breujung pada pembicaraan langsung antara Washington dan Teheran," kata Andreas Schockenhoff, wakil ketua Partai Kristen Demokratis Jerman.

Iran memiliki kedekatan bahasa dan budaya dengan Afghanistan, khususnya dengan etnis Tajik, suku Afghanistan berbahasa Farsi di Provinsi Herat, dan Hazara, minoritas Syi'ah yang tinggal di kawasan utara dan tengah Afghanistan.

Pengaruh Iran di kawasan tersebut cukup dalam. Kota Herat sempat menjadi ibu kota kekaisaran Persia pada awal abad ke-15, dan tetap menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan Iran hingga diambil alih oleh Dost Mohammed Khan pada 1863 dan menjadikannya wilayah perbatasan de facto Afghanistan.

Syi'ah menjadi agama resmi di Iran sejak 1501, pada permulaan Dinasti Savafid. Tapi, seiring Revolusi Islam tahun 1979 oleh Ayatullah Ruhollah Khomeini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, para ulama Syi'ah mampu mengambil alih negara dan memerintah masyarakat mayoritas Syi'ah. Tidak heran hal itu menjadi peristiwa paling penting dalam sejarah Syi'ah.

Asia Times Online melaporkan dari kota suci Iran, Qom, dan menyebutkan bahwa, sejauh yang diinginkan para ayatullah terkemuka, misi utama mereka adalah mengubah keyakinan seluruh umat Islam dan menjadikannya kekuasaan revolusioner dan murni Syi'ah. (dn/im/tm/cf/at) www.suaramedia.com Jumat, 18 Juni 2010 13:22
Selengkapnya...

Kamis, 17 Juni 2010

Lagu persembahan untuk Gaza

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009
Lyrics:

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze


We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Terjemahan lirik dalam bahasa Indonesia:


Cahaya putih yang membutakan mata
Menyala terang di langit Gaza malam ini
Orang-orang berlarian untuk berlindung
Tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati

Mereka datang dengan tank dan pesawat
Dengan berkobaran api yang merusak
Dan tak ada yang tersisa
Hanya suara yang terdengar di tengah asap tebal

Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini

Wanita dan anak-anak
Dibunuh dan dibantai tiap malam
Sementara para pemimpin nun jauh di sana
Berdebat tentang siapa yg salah & benar

Tapi kata-kata mereka sedang dalam kesakitan
Dan bom-bom pun berjatuhan seperti hujam asam
Tapi melalui tetes air mata dan darah serta rasa sakit
Anda masih bisa mendengar suara itu di tengah asap tebal

Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini
Selengkapnya...

Jumat, 21 Mei 2010

Kaji Syi'ah, Mahasiswa Indonesia Raih Doktor Al Azhar

Bandingkan konsep wilayah al faqih dengan syuro serta mengkritik kelemahan sistem politik yang digunakan di Iran ini. Indonesia kembali berbangga di bidang akademis. Muhammad Khalid Mushlih, M.A, mahasiswa asal Jombang, berhasil meraih gelar doktor di Jurusan Akidah Filsafat di Universitas Al Azhar Kairo, dengan predikat summa cum laude.

Dalam seminar doktoralnya pada hari Rabu (12/5), Khalid Mushlih mengupas disertasi dengan judul “Welayat Al-Faqih wa Tathbiqotuha al-Mu’ashiroh: Qira’ah Naqdiyyah Muqoranah bil al-Syuro wa al-Dimukrothiyah”. Dalam bahasa Indonesia, “Welayat al-Faqih dan Penerapannya: Studi Kritik atas Sistem Politik Syi’ah Kontemporer, Komparasi dengan Sistem Syuro dan Demokrasi”.

Dalam wawancara khusus dengan Hidayatullah.com di Kairo, Khalid Mushlih menjelaskan tentang konsep Welayat al-Faqih yang ada dalam sistem politik Syi’ah, khususnya yang tengah diterapkan di Iran sekarang ini. Welayat al-Faqih adalah sistem politik Syi’ah yang ada di Iran sejak revolusi Iran tahun 1979 oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini.

Dari sistem ini adanya suatu keharusan bagi para fuqaha (ulama) untuk mendirikan negara di masa Ghaibah Al Kubra, yaitu masa ketiadaan imam Syi’ah yang ke-12 sejak tahun 329 H sampai sekarang.

Menurut kepercayaan aliran Syi’ah, ketiadaan imam mereka tersebut, karena imam ke-11, yaitu Imam Hassan Al Asykary tidak memiliki keturunan. Sedangkan dalam aliran Syi’ah, mereka itu harus dipimpin oleh seorang imam. Dan imam yang diakui oleh mereka hanyalah berjumlah 12 orang, sehingga terdapat kebingungan dalam masyarakat Syi’ah, ketika imam mereka yang terakhir ini tidak cenderung muncul.

Sebelum terjadinya Ghaibah al-Kubra, juga terjadi Ghaibah As Sugra, dari tahun 260-329. Konsep Ghaibah atau ketiadaan imam dalam Syi’ah ini untuk pertama kalinya dikembangkan oleh kelompok Syi’ah yang diberi nama dengan kelompok Itsna ‘Asyar. Dinamakan demikian, karena kelompok ini tetap meyakini bahwa imam mereka yang ke-12 itu tetap ada, akan tetapi masih gaib.

Selama masa ketiadaan imam mereka ini, maka mereka harus menunggu. Dan dalam masa penantian ini, para ulama tidak dibolehkan berijtihad, tidak dibolehkan berdakwah, tidak dibolehkan shalat Jum’at, tidak dibolehkan melakukan amr ma’ruf nahi munkar, dan lain sebagainya. Karena keyakinan Syi’ah mengatakan bahwa yang berhak melakukan semua itu hanyalah seorang imam. Inilah yang menjadi permasalahan besar dalam golongan Syi’ah.

Akhirnya ulama-ulama Syi’ah mulai berijtihad dan mencari jalan keluarnya. Semua ketidakbolehan selama masa penantian yang menjadi masalah besar tadi, sedikit-demi sedikit diselesaikan. Dan sampai pada zamannya Ahmad Naroki, para ulama mulai diwajibkan untuk menggantikan imam. Namun pada masa itu masih sedikit masyarakat Syi’ah yang mau percaya dengan konsep ini, karena masih kentalnya doktrin imamah Syi’ah ketika itu.

Kemudian pada masa Khomeini yang memimpin revolusi Iran, barulah konsep ini menjadi sebuah sistem dalam politik Syi’ah yang diberi nama dengan Welayat al-Faqih.

Konsep Welayat al-Faqih ini, dalam disertasinya yang dibimbing oleh Prof. Dr. Muharram (Guru Besar Akidah Filsafat serta mantan Ketua Jurusan di Universitas Al-Azhar) dan Prof. Dr. Jamaluddin Afifi (Guru Besar Akidah Filsafat dan Ketua Jurusan sekarang di Unversitas Al-Azhar), dikritik oleh Khalid Mushlih dengan cara perbandingan terhadap konsep syuro dalam Islam, dan konsep demokrasi.

Dalam membandingkan konsep Welayat al-Faqih dengan konsep syuro dan demokrasi, Khalid Mushlih memiliki enam poin utama yang dijadikan perbandingan, yaitu; dasar yang dijadikan pijakan oleh ketiga konsep ini, mengenai kekuasaan tertinggi, batas kekuasaan, pemisahan antara 3 kekuasaan, prinsip mayoritas, dan konsep perwakilan.

Dari keenam poin perbandingan ini, akhirnya Khalid Mushlih sampai pada kesimpulan bahwa ternyata konsep Welayat al-Faqih yang diterapkan dalam pemerintahan Iran sekarang ini, sangat rapuh sekali. Selain ditemukan kerancuan konsep terhadap konsep Syi’ah itu sendiri, juga terdapat pengadopsian konsep dari syuro dan demokrasi juga. Dan konsep politik dalam ajaran Syi’ah akan berkembang terus sesuai dengan tuntutan zaman, tidak konsisten.

Yang bertindak sebagai penguji disertasi ini adalah Prof. Dr. Thoha Abdus Salam Khadir (Guru Besar Akidah Filsafat di Universitas Al-Azhar) dan Prof. Dr. Muhammad Sayyid Al-Galayn (Dosen Fakultas Darul Ulum di Universitas Cairo). Turut hadir juga dalam seminar doktoral tersebut, Duta Besar Republik Indonesia, A. M. Fachir.

Khalid Mushlih termasuk mahasiswa yang bisa dibilang langka, karena dapat menyelesaikan studi di Universitas Al-Azhar dari jenjang S1 sampai doktor dalam jurusan yang dinilai sulit bagi sebagian besar mahasiswa Indonesia di Al-Azhar, yaitu jurusan Akidah Filsafat. Strata 1 diselesaikan pada tahun 1997, strata 2 pada tahun 2003, dan sekarang meraih gelar doktor dalam umur ke-35 tahun.

Rencananya Khalid Mushlih pulang ke tanah air bulan depan, dan akan mengabdikan diri kepada Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat ini ia masih tercatat sebagai dosen di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. [sadz/www.hidayatullah.com]
Selengkapnya...

Selasa, 11 Mei 2010

Di Iran, Para Pengungsi Afghanistan Diperlakukan Kejam

Kasihan benar nasib para pengungsi Afghanistan. Di negeri sendirinya mereka didholimi penguasa lokal dan asing, eh ketika melakukan "hijrah" ke sesama negara Arab alias Iran, mereka pun diperlakukan dengan sangat kejam.

Menurut jurubicara kementerian luar negeri Afghanistan, Faqiri Zaher, saat ini diperkirakan ada 4000 atau 5000 orang Afghanistan yang berada di penjara-penjara Iran.

Perlakuan Iran terhadap pengungsi Afghanistan memang telah menimbulkan keprihatinan banyak orang di negara asal mereka. Saat ini diperkiraan ada 1000 orang pengungsi berasal dari Afghanistan di Iran.

Beberapa ribu orang telah ditangkap oleh otoritas Iran dan ratusan lainnya bahkan dilaporkan dihukum mati.

Iran memang telah kedatangan jutaan pengungsi selama pendudukan Uni Soviet di Afganistan, dan kemudian perang sipil. Dalam beberapa tahun terakhir, negara itu malah mendeportasi sebagian warga Afghanistan kembali ke negaranya padahal Iran tahu dengan jelas bahwa Afghanistan sekarang tengah bergolak panas. .

Bukan rahasia lagi jika Teheran memang telah menentang rezim Taliban yang menguasai Afghanistan. (sa/bbc)
Selengkapnya...

Minggu, 14 Maret 2010

Faham Syiah

Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 merekomendasikan tentang faham Syi' ah sebagai berikut

Faham Syi'ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm'ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu diantaranya :
* Syi'ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan ahlu Sunnah wal Jama'ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
* Syi'ah memandang "Imam" itu ma 'sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan # (kesalahan).
# Syi'ah tidak mengakui Ijma' tanpa adanya "Imam", sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama' ah mengakui Ijma' tanpa mensyaratkan ikut sertanya "Imam".
# Syi'ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/Pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da'wah dan kepentingan ummat.
# Syi'ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengakui keempat Khulafa' Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi'ah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang "Imamah" (Pemerintahan)", Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada ummat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama'ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi'ah.
Selengkapnya...

Selasa, 23 Februari 2010

Iran Bakal Gantung Pimpinan Gerakan Jundullah Sunni

Seorang mahasiswa Iran seringkali menyangkal fakta pembunuhan aktifis dan orang sunni di Iran. Berikut adalah fakta kekejaman rezim rafidhah di negeri Iran

Pemerintahan Republik Syi'ah Iran pada Selasa (23/2) hari ini menangkap Abdul Malik Riji, Pemimpin Besar Gerakan dan Jama'ah "Jundullah" (Tentara Allah) yang beraliran Sunni atas tuduhan mengepalai serangkaian aksi pengeboman dan pembunuhan.

Kanal televisi Iran Al-Alam mengabarkan, Riji ditangkap di wilayah bagian timur negara Iran bersama dua anggota jamaah lainnya. Hingga berita tersebut disiarkan, belum ada kabar susulan mengenai perkara penangkapan Riji.

Jamaah "Jundullah" sendiri terhitung sebagai jamaah dan gerakan Islam Sunni terbesar di Iran, khususnya di wilayah timur negara Mullah yang berbatasan dengan Afganistan dan Pakistan.

Dalam beberapa kesempatan, jamaah Jundullah sering kali bentrok dengan pasukan penjaga revolusi Iran. Bentrokan tersebut kerap terjadi di sepanjang perbatasan Iran dengan Afganistan dan Pakistan.

Di sisi yang lain, sumber "Jundullah" mengatakan pihaknya sebagai "Gerakan Perlawanan Rakyat Iran" yang berjuang untuk kepentingan Muslim Sunni di negara yang mayoritas Syi'ah itu.

Pertengahan tahun silam, sebanyak 13 tokoh "Jundullah" di Provinsi Zahidan divonis hukuman gantung oleh pemerintahan Iran. Saudara kandung Riji sendiri kini tengah menunggu masa dijatuhkannya hukuman serupa.

Tertangkapnya Riji sebagai pemimpin besar Jundullah bisa dipastikan akan menyeretnya ke pengadilan dan juga vonis hukum gantung, serupa dengan beberapa anggota Jundullah sebelumnya.

Beberapa bulan terakhir, Jundullah sering menembakkan roket dan melakukan serangan terhadap pihak Iran, pasca gagalnya upaya dan opsi dialog antara pihaknya dengan pihak pemerintahan Iran. Selasa, 23/02/2010/eramuslim
Selengkapnya...

Sabtu, 13 Februari 2010

Taliban: Penjaga Terakhir Negeri Afghanistan

Dunia pertama kali menyadari kehadiran Taliban pada tahun 1994, ketika mereka ditunjuk oleh Islamabad untuk melindungi sebuah konvoi yang mencoba membuka rute perdagangan antara Pakistan dan Asia Tengah.

Kelompok yang terdiri dari orang-orang Afganistan yang dilatih di sekolah-sekolah agama di Pakistan bersama dengan mantan pejuang atau mujahidin Islam ini terbukti efektif mengawal, dan mengendalikan kelompok-kelompok lain yang hendak menyerang dan menjarah konvoi tersebut.

Pada awalnya, pejuang Taliba hanya berpusat di Kandahar saja. Namun, seiring dengan diterimanya mereka oleh masyarakat Afghanistan, mereka pun merambah ke ibukota, Kabul, tepatnya pada bulan September 1996.

Antikorupsi

Popularitas Taliban yang menanjak dengan banyak orang Afghan itu awalnya mengejutkan semua faksi yang ada.

Etnis Pashtun, sebagian besar dukungan mereka berasal dari masyarakat Pashtun Afghanistan, kecewa dengan etnis yang ada Tajik dan Uzbek pemimpin. Walau hal ini bukan semata-mata masalah etnis, lebih dikarenakan rakyat Afghan sudah sangat lelah dan muak akan pelanggaran hukum yang berlaku di banyak bagian negara itu. Mereka menyenangi Taliban karena Taliban berhasil memberantas korupsi, memulihkan perdamaian dan perdagangan yang memungkinkan rakyat Afghanistan untuk berkembang lagi.

Taliban terkenal dengan penolakannya untuk berkerjam sama dengan pemerintah dan orang-orang kaya di negerinya. Hal itu membuat mereka semakin dihormati.

Negara Islam

Taliban mengatakan tujuan mereka adalah untuk mendirikan negara Islam, melarang hal-hal yang mubadzir seperti menonton televise dan bioskop dan atau musik. Banyak media Barat yang membesar-besarkan bahwa kebijakan Taliban ini picik dan konservatif, namun seharusnya, dengan segala sejarah yang panjang tentang Islam, keputusan Taliban itu merupakan sebuah pilihan yang harus dihormati. Mengapa media Barat tidak bereaksi terhadap para biksu agama Hindu dan Budha yang mengisolasi diri lebih daripada Taliban?

Usaha Taliban untuk memberantas kejahatan sangat efektif karena mengenalkan hukum Islam termasuk eksekusi publik dan hukum potong tangan. Tentu saja, dalam melaksanakan hikum ini tidak sembarangan dan asal-asalan, karena ada berbagai macam prosedur yang memang telah digariskan dalam Islam sendiri. Sayang, lagi-lagi, dalam hal ini Barat menyorot dan membesar-besarkan secara tidak proporsional. Disebutkan bahwa Taliban melarang anak-anak perempuan pergi kes ekolah, padahal kenyataannya, siapa gerangan yang membuka sekolah-sekolah untuk anak perempuan di Pakistan dan Afghanistan? Tiada lagi tiada bukan, Taliban sendiri.

Memperluas kendali

Taliban sekarang mengendalikan hampir semua wilayah Afghanistan. Di sebelah utara negara itu, adalah benteng terakhir dari komandan etnik Tajik Ahmed Shah Masood.

Dengan 90% negara di bawah kendali mereka, Taliban terus menekan klaim bagi pengakuan internasional akan keberadaan mereka dan hokum Islamnya. Namun sanksi PBB yang kini diberlakukan pada Afghanistan membuatnya semakin tidak mungkin bahwa Taliban akan mendapatkan pengakuan.

Sanksi ini dimaksudkan untuk memaksa Taliban menyerahkan militan kelahiran Saudi Osama bin Laden, yang dituduh oleh Amerika Serikat pada tahun 1998 merencanakan pengeboman kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania, yang menewaskan lebih dari 250 orang.

Afghanistan telah mengalami 20 tahun perang, dan tahun ini telah membawa keburukan terburuk dalam beberapa dasawarsa. Taliban, terlatih sejak zaman negeri mereka diperangi Russia pada tahun 1980-an, dan kini oleh AS dan sekutunya, terus berdiri di atas kaki mereka. “Ini tanah kami. Meski luka dan mati tertanam di sini.” (eramuslim)
Selengkapnya...

Balas Dendam Anak Syah Iran Kepada Rezim Mullah-Ahmadinejad?

eramuslim.com--- Anak mendiang Syah terakhir Iran Reza Muhammad Reza Pahlevi (Ridha Muhammad Rihda al-Bahlawi), tampaknya hendak melakukan balas dendam terhdap kaum Mullah yang pada 1979 silam memimpin gerakan revolusi Islam Iran dan menjungkalkan ayahnya, Muhammad Reza Pahlevi, dari singgasana emperornya.


Dari Paris (11/2), Reza menyerukan dunia internasional untuk memberikan dukungan kepada sayap reformis Iran yang juga oposisi pemerintahan Ahmadinejad yang disokong para Mullah.

Seruan Reza tersebut disampaikan ketika Iran memperingati hari Revolusi Islam Iran yang ke-31, yang juga bersamaan dengan kembali memanasnya suhu konflik Iran-Barat akibat kasus nuklir Iran.

Rezim Mullah di Iran, seru Reza, haru segera diakhiri. Masyarakat internasional diharapkan turut serta "mensukseskan" pengakhiran dan penjatuhan rezim tersebut, sebagaimana yang pernah terjadi atas penjatuhan Uni Sovyet dan rezim Apartheid di Afrika Selatan.

Reza juga menyerukan negara-negara dunia untuk menutup kedutaan besarnya di Tehran, Iran, sebagai bentuk protes atas pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Ahmadinejad terhadap para demonstran minggu silam.

Sejak terjungkal oleh Revolusi Islam Iran 1979 lalu, keluarga Syah Iran Pahlevi kabur ke luar negeri dan hidup dari satu negeri ke negeri lainnya. Syah Muhammad Reza Pahlevi meregang nyawa dan dikuburkan di di Mesir pada tahun 1980. Anaknya sendiri, Reza (49), menetap di Amerika dan Prancis.
Selengkapnya...

Sabtu, 06 Februari 2010

Konsep Ta'wil Syi'ah Bathiniyah & Pengaruhnya terhadap Hermeneutika

DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia (USIM)

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian yang mengkaji seputar Konsep Ta'wil Syi'ah Bathiniyah & Pengaruhnya terhadap Hermeneutika.

Bagian Pertama
Masalah ta’wil adalah masalah penting dalam studi keislaman. Ta’wil merupakan salah satu metode penafsiran teks untuk memahami kandungan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia mendapatkan tempat, posisi dan perhatian khusus para ulama. Oleh karena itu tidak sedikit ulama yang membahas masalah ini.
Bahkan karya-karya mereka banyak diberi judul dengan kata-kata ta’wil, seperti ulama tafsir terkenal imam at-Thabari yang menulis tafsirnya dengan judul “Jaami’ al-Bayaan ‘An Ta’wil Ayaat al-Qur’an”, juga Imam al-Maturidi (pendiri mazhab teoligi Maturidiyah) yang menulis tafsirnya dengan judul “Ta’wiilaat Ahli Sunnah”, serta Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Arabi yang memiliki buku yang mempunyai judul yang sama yaitu: “Qanun at-Ta’wil”. Mereka semua ini adalah para ulama klasik.
Pada masa kontemporer sekarang inipun tidak ketinggalan para sarjana-sarjana islam dari berbagai disiplin ilmu keislaman melahirkan karya-karya yang membahas masalah ta’wil, seperti DR. Husain Shaleh yang mengarang buku dalam masalah kebahasaan yang diberi judul “at-Ta’wil al-Lughawi fi al-Qur’an”, dan DR. Muhammad as-Sayyid al-Jalayand yang membahas tentang metodologi ta’wil Imam Ibnu Taimiyah dan mengkomparasikannya dengan pandangan ulama lainnya dalam masalah dan seluk beluk ta’wil dalam bukunya yang berjudul “Imam Ibnu Taimiyah Wa Qadhiyyah at-Ta’wil”.
Saat ini ta’wil sedang digemari dan digandrungi oleh para intelektual Arab dan orientalis, dengan menggunakan berbagai propaganda terminologi baru, yaitu: “Hermeneutika”, yang dibangun atas spekulasi logika, dan diekspos besar-besaran oleh beberapa pemikir islam modernis, seperti: Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abid al-Jabiri, Abdullah al-‘Arawi, Husain Marwah, Muhammad Sa’id al-‘Isymawi, Jabir ‘Ashfur, Ahmad Sa’id Adunis dan lain-lain. Namun, sangat disayangkan mereka menyelewengkan artian, makna dan tujuan daripada ta’wil, sehingga banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan interpretasi agama yang sangat tidak relevan dengan ajaran-ajaran Islam.
Mereka berdalih bahwa proses interprestasi yang dilakukannya hanya semata-mata untuk mengkaji ulang agama, memperbaharui pemikiran agama dan menyegarkan pemahaman. Sebagian mereka berasumsi bahwa al-Qur’an itu diturunkan untuk satu kaum dan generasi tertentu saja yang pada akhirnya memerlukan interpretasi yang baru dan segar.
Mengingat pentingnya masalah ta’wil tersebut, maka artikel ini sengaja ditulis dengan tujuan melacak dan menelusuri pengaruh metode ta’wil Syi’ah Bathiniyah terhadap pemikiran liberal yang akhir-akhir ini semarak di dunia timur tengah atau negara-negara Arab, seperti Mesir, Suria, al-Jazair dan libanon.
Faktor utama yang memotivasi penulis untuk membahas masalah ini adalah melihat adanya fenomena dari kedua gerakan tersebut -Syi’ah Bathiniyah dan Liberal- untuk melakukan penyesatan dan pengrusakan (sabotase) aqidah Islam. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan usaha preventif agar tidak terpukau dengan wacana pemikiran liberal atau sekuler yang akhir-akhir ini menyibukkan umat Islam di dunia Arab dan Islam, khususnya di Indonesia. Di samping itu merupakan peringatan (tazkirah) akan hakikat dan bahayanya ta’wil Bathiniyah yang dipopuleritaskan oleh gerakan sekuler yang dikenal di Indonesia dengan sebutan “islam liberal”, dan di negara Arab dikenal dengan sebutan “al-‘Almaniyah”.
Namun, sebelum penulis mengekspikasikan pembahasan ini lebih jauh, perlu diindikasikan sebelumnya bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk memojokkan gerakan liberal, apalagi memvonis bahwa gerakan sekuler atau liberal adalah pecahan atau kontinuitas dari gerakan Syi’ah Bathiniyah. Sebab hipotesa demikian mustahil dibuktikan kebenarannya. Karena salah satu prinsip dasar ajaran Syi’ah adalah meyakini adanya Imamah, atau dengan kata lain mempercayai dan mengkultuskan seorang imam, pemimpin atau tokoh tertentu dengan sepenuh hati “sam’atan wa tha’atan”, tunduk dan patuh terhadap doktrin-doktrin yang disodorkan atau ditawarkan oleh imam.
Hal ini tidak akan pernah ditemukan sama sekali dalam wacana pemikiran sekuler atau liberal. Bahkan sebaliknya, di mana kaum sekuler sangat anti dengan pengkultusan, apapun bentuk dan rupanya.
Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah
Dan bahkan dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah[1] . Hal tersebut disebabkan oleh karena ajaran-ajaran Syi’ah Bathiniyah sangat kontroversial dan melenceng dari kemurnian ajaran Islam.
Oleh karena itu para ulama dari berbagai kalangan yang disebutkan di atas –golongan Sunni ataupun Syi’ah- sepakat berpendapat bahwa mereka keluar dari Islam alias (kafir). Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui gencarnya studi kritik terhadap filsafat dan aqidah Bathiniyyah[2] .
Untuk sekedar memberikan gambaran umum “General Outlines” mengenai Syi’ah Bathiniyah, dalam etimologi bahasa arab lafadz (batin) adalah lawan kata daripada (zahir)[3] .
Dan (batin) merupakan salah satu nama Allah SWT. yang artinya Allah Maha Tahu tentang segala rahasia. Adapun menurut terminologi, Bathiniyyah adalah salah satu aliran Syi’ah yang dikenal dengan penamaan asal (al-Isma’iliyyah), dan ia merupakan salah satu aliran Syi’ah yang terbesar selain Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Oleh karena itu ulama Syi’ah Zaidiyah sendiri secara jelas mendefinisikan Bathiniyah -sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama Syi’ah Zaidiyah, yaitu: Imam Ahmad bin Sulaiman (wafat 566) dalam buku teologinya yang terkenal (Haqaa,iq al-Ma’rifah fi Ilmi al-Kalam)-: “Bathiniyah dinisbahkan kepada Syi’ah Isma’ilyah.
Mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya kufur. Dan mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin[4].
Senada dengan definisi diatas, Ibnu al-Jauzi mengatakan dalam bukunya yang berjudul (Talbiis Ibliis): “Bathiniyah adalah suatu kaum yang bertopengkan agama Islam, dan berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin. Al-Bathiniyah itu sendiri adalah golongan Syi’ah Isma’ilyah yang penamaannya dinisbahkan kepada imam Muhammad bin Ismail bin Ja’far[5] .
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Bathiniyah adalah Syi’ah Isma’iliyah. Adapun dalam perkembangannya, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah sering kali bertukar dan berganti nama, bergantung kepada tempat dimana ia muncul dan menetap. Seperti di Iraq dan di Bahrain dikenal dengan nama “al-Qaramithah”, di Khurasan dikenal dengan nama “at-Ta’limiyah”, di Mesir dikenal dengan nama “al-Fathimiyah”, di Syam (Suria,Yordan, Lebanon dan Palestina) dikenal dengan dua penamaan yaitu “an-Nushairiyah” dan “ad-Duruz”, dan khusus di Palestina terdapat penamaan lain yaitu “al-Baha,iyah”, di India dengan nama “al-Bahra”, di Yaman dengan nama “al-Yamiah” disamping penamaan aslinya “al-Isma’ilyah”, di daerah-daerah Kurdi dengan nama “al’Alawiyah”, di Turki populer dengan nama “al-Bakdasyiah), dan di negara selain Arab dikenal dengan nama “al-Babiyah”.
Namun mereka sendiri sebenarnya merasa lebih puas dan senang dengan penamaan aslinya, yaitu “al-Isma’iliyah”, sebagaimana yang ditegaskan oleh tokoh ulama mereka yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H) dalam bukunya yang berjudul “Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadhil”. (Bersambung)
Catatan:
[1] Zaidiyah dekat dengan Ahli Sunnah dalam Furu’iyyah mazhab Hanafi, dan masalah ushuliyyah aqidah dekat kepada aqidah Mu’tazilah.
[2] Untuk lebih jelasnya lihat desertasi penulis: “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha. Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon. 2009.
[3] Lihat beberapa kamus: Lisanul Arab, Misbah al-Munir dll.
[4] Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam, Ahmad bin Sulaiman, halaman 500, Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi, Shan’a, Yaman, cet 1/2003. editor: Hasan bi Yahya al-Yusfi.
[5] Talbis Iblis, Halaman 124-125, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Bairut, cet 1/1985. editor: Dr. as-Sayyid al-Jumaili.

Bagian Kedua
Perlu di sebutkan juga bahwa Ibnu Taimiyah tatkala menyebutkan perkataan golongan Bathiniyah secara absolut (mutlak) dalam berbagai kitabnya, seperti “Dar Ta’arud al-Aql wa an-Naql”, “Minhaaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, ia tidak membatasi artian dan penisbahan Bathiniyah kepada Syi’ah Isma’iliyah saja, melainkan meliputi seluruh golongan yang berkeyakinan bahwa syari’at atau teks-teks al-Qur’an itu mengandung makna lahir dan batin, seperti yang diyakini oleh para Ahli Tasawwuf, Filsafat, dan golongn Jahmiyah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa standarisasi Ibnu Taimiyah dalam pemakaian istilah Bathiniyah terlihat pada bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan kepada teori lahir batin, yang dalam perkembangannya gaya penafsiran tersebut didukung penuh oleh pemikir-pemikir sekuler atau liberal[1]. Sebagaimana yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini.
Sejauh observasi penulis, ada tiga pengaruh atau kesan metodologi ta’wil Bathiniyah terhadap Hermeneutika yang dipropagandakan oleh kaum sekuler dan liberal, yang daripadanya kita dapat melihat sejauh manakah pengaruh tersebut pada pemikiran liberal dalam memahami, menterjemahkan dan memainkan ajaran-ajaran agama melalui interpretasi mereka terhadap teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Yang pertama: melalui teori lahir batinnya al-Qur’an dan Sunnah. Yang kedua: Ta’wil liar yang tidak sesuai dengan gramatikal bahasa Arab. Yang ketiga: Penyesatan aqidah. Untuk lebih jelasnya mari kita mencoba melihat kebenaran hipotesa ini dalam uraian berikut:
A, Teks al-Qur’an dan Sunnah Mengandung Makna lahir (eksplisit) dan Batin (implisit).
Teori lahir dan batin merupakan asas utama bagi pemahaman aqidah syi’ah Ismal’ilyah Bathiniyah dan Syi’ah Imamiyah. Dengan melalui teori tersebut lahirlah konsep Ta’wil yang tidak beraturan dan tidak dilandasi oleh kaedah apapun. Melihat pentingnya teori tersebut dalam syi’ah Isma’iliyah, Paul E. Walker – Guru besar di Universitas MacGill- dalam bukunya “Hamdi ad-Din al-Kirmani”, mengamati bahwa teori lahir dan batin adalah masalah esensial, oleh karena itu sangat ramai diperbincangkan oleh aliran syi’ah, baik syi’ah Isma’Iiyah[2] ataupun syi’ah Imamiyah.
Dan teori ini selanjutnya dikenal dengan slebutan lain, yaitu: “al-Mutslu wa al-Mamtsul”. Di mana mereka memposisikan lahir itu sebagai “al-Mutslu”, sedangkan batin diposisikan sebagai “al-Mamtsul”. Teori ini digunakan oleh syi’ah Isma’ilyah untuk memahami segala wujud alam langit dan bumi, dan dijadikan sebagai standar interpretasi dalam menegakkan dan membela kepercayaan yang mereka anut dan yakini sepenuhnya. Di samping itu, mereka juga mengistilahkan teori tersebut dengan dua istilah lain, yaitu: “at-Tanzil wa at-Ta’wil”, juga: “al-Ilmu wa al-‘Amal” [3].
Untuk mengetahui lebih jauh implementasi teori lahir dan batin yang diagung-agungkan oleh syi’ah Isma’ilyah, penulis menukil perkataan salah satu filosof syi’ah Isma’ilah yang bernama Abu Mu’ayyan al-Marwazi yang populer dengan sebutan akrabnya “Nashir Khasru” (wafat sekitar 470 H): “Sebagaimana halnya alam dunia ini tersusun dari empat unsur, yaitu: panas, dingin, kering dan lembab, maka alam agamapun demikian, ia tersusun dari empat unsur juga, yaitu: Kitab (al-Qur’an), Syari’at, Ta’wil dan Tauhid” [4].
Dengan landasan perumpamaan (analogy) tersebut, syi’ah Isma’Iiyah berasumsi bahwa syari’at itu mengadung dua makna, yaitu: makna lahir dan makna batin[5].
Di tempat lain, salah satu filosof syi’ah Isma’illiyah moderat yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H), yang berasal dari negara Yaman, mendefinisikan hakikat makna lahir dan batin, ia berkata: “Jika penganut aliran syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah mengatakan: Qur’an itu mengandung dua makna, yaitu lahir dan batin, maka maksudnya tidak lain adalah makna lahir itu adalah amalan perbuatan manusia yang sifatnya syari’at (furu’iyah), seperti: mengucapkan dua kalimat syahadat, melakukan ritual shalat, menunaikan zakat, puasa dan haji, serta berjihad.
Adapun makna batin dalam pengertian mazhab kami, maksudnya adalah pengetahuan batin, seperti: mengetahui eksistensi sesuatu, elemen-elemen dan hakikatnya, dan hal ini tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, serta hanya dapat dicapai melalui ilustrasi dan imajinasi jiwa dan akal manusia, contohnya dalam permasalahan tauhid, kenabian, balasan dan siksaan di hari kemudian. Dan hal itu hanya bisa diketahui oleh sebagian manusia, yaitu para imam-imam syi’ah” [6].
Dari penuturan filosof syi’ah Isma’Iiyah diatas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan makna lahir adalah segala bentuk perbuatan dan amalan manusia yang berkaitan dengan furu’iyyyah syari’at (fiqh). Sedangkan makna batin merupakan inti atau esensi agama yang tidak nampak oleh pancaindera manusia. Namun hal itu dapat diketahui, dideteksi dan dicapai oleh para imam-imam mereka saja.
Dalam konteks yang sama, Ja’far bin Mansur (wafat 347 H), yang juga merupakan salah satu ulama syi’ah Isma’liyah, bahkan termasuk tokoh terkemukan syi’ah Isma’ilyah di Yaman, mendefinisikan lebih detil definisi makna lahir dan batin, baginya: “Makna batin adalah hakikat agama Allah yang tercatat dan dimiliki oleh para Waliyullah (imam-imam syi’ah). Sedangkan makna lahir adalah syari’at-syari’at agama dan semisalnya.
Dengan demikian, agama merupakan ruh dan jiwa bagi syari’at. Sedangkan syari’at merupakan jasmani bagi agama. Sebab jasmani tidak dapat hidup tanpa adanya ruh. Dengan sebab keberadaan ruhlah jasmani itu dapat hidup. Begitupun sebaliknya, tanpa adanya jasmani, ruh tidak dapat hidup. Sebab jasmani merupakan tempat hidupnya ruh. Sama halnya dengan lahiriyah syari’at, ia tidak dapat tegak tanpa keberadaan batin, sebab batin itu adalah cahaya dan hakikatnya, dan batin itulah yang menegakkan syari’at [7].
Sebagi catatan, teori lahir dan batin dapat ditemui juga dalam konsep ilmu Tasawwuf. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya konsep tersebut merupakan hasil adopsi dari sy’iah. Secara khusus konsep ini akan ditemukan pada tasawwuf yang bercorak filsafat (at-Tasawwuf al-Falsafiy), yang memiliki beberapa orang tokoh seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dll.
Begitu juga halnya dengan salah seorang ulama terkemuka tasawwuf at-Tustari yang dalam kitab tafsirnya dengan jelas menekankan adanya makna lahir dan batin bagi teks Qur’an, ia berkata: “Makna batin itu merupakan hasil pemahaman seseorang dalam menela’ah isi kandungan al-Qur’an, dan makna batin itulah yang merupakan makna yang sebenarnya (hakiki) [8].
Dengan demikian, teori lahir dan batin merupakan masalah penting dan utama bagi ahli Tasawwuf dalam merumuskan permasalahan ma’rifat [9].
Dari beberapa penjelasan ulama Isma’ilyah di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sangat meyakini adanya makna lahir dan batin bagi teks-teks Qur’an maupun Sunnah, dan bagi mereka makna lahir bukanlah initi dari al-Qur’an, melainkan intinya terletak pada pemaknaan batinnya, dan bagi mereka amalan ibadah syari’at seperti, mengerjakan shalat, puasa, haji dll, adalah makna lahir bagi agama, adapun makna batinnya terselubung dan hanya diketahui oleh para imam-imam mereka yang maksum (terpelihara dari noda dan dosa), alasan mereka, karena imam itu adalah pilihan langsung dari Allah, jadi pengankatan mereka langsung pula dari Allah Swt, oleh karena itu setiap imam memiliki kemampuan dan keilmuan yang memadai terhadap segala seluk beluk agama, baik yang sifatnya lahiriyah atau bathiniyah, dan anehnya mereka berasumsi lebih jauh bahwa alam ghaib bisa diilustrasikan oleh para imam-imam mereka, seperti kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi di alam akhirat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau penganut syi’ah Isma’iliyah meremehkan amalan-amalan syari’at, sehingga mereka mengatakan bahwa pelaksanaan ibadah shalat hanya perlu dilakukan dalam tiga waktu sehari, yaitu, shalat Maghrib, Isya dan Shubuh, bahkan bila perlu ditinggalkan sama sekali, alasan mereka amalan shalat tidak ditentukan waktunya secara detil dalam teks-teks al-Qur’an, melainkan ditentukan oleh Nabi, maka sepeninggal Nabi Muhammad, Imam Syi’alah yang menjadi penerus dan generasinya untuk menentukan perkara-perkara agama, dengan demikian seorang imam boleh saja baginya membuat amalan atau syari’at sendiri atau merevisi ajaran-ajaran yang telah ada sebelumnya, dengan cara menambahkan atau mengurangi amalan-amalan yang telah ditentukan oleh Nabi sebelumnya, hal ini berlaku sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi.
Adapun argumentasi mereka tentang pelaksanaan yang membatasi hanya tiga waktu shalat sehari, asumsi mereka pelaksanaan shalat asalnya lebih sepuluh kali dalam sehari semalam, kemudian berkurang menjadi lima waktu saja, di samping itu mereka berargumentasi dengan teks Qur’an ayat 78, surah al-Isra: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) shalat shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)" [10].
Bila kita kontemplasikan fenomena diatas maka akan jelas ide bahwa segala teks agama mengandung makna lahir dan batin yang disuarakan dan dikonsumsikan oleh gerakan sekuler dan liberal, yang dibawa oleh para pemikir kontemporer di Timur Tengah, adalah sebenarnya ide atau metodelogi Syi’ah Isma’iliyah yang diadopsi dan dikembangkan serta dipopulerkan oleh oleh gerakan sekuler dewasa ini, namun mereka memakai slogan lain dalam membahasakan makna lahir dan batin, kalau Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan istilah “Lahir” dengan lafadz “Makna”, dan “Batin” dengan lafadz “al-Maghza”, sedangkan Ali Harb memakai istilah “al-Magza dan Ma’na al-Ma’na” untuk makna “Batin”, sementara al-‘Isymawi memilih penamaan “Batin” dengan “al-Jauhar”. Adapun Abid al-Jabiri menyebutnya “al-Maqashid”, dan Arkoun membahasakannya lewat istilah “al-Hadaatsha”.
Aneka terminologi di atas kerapkali kita temukan dalam buku yang bercorak sekuler dan liberal, tapi yang terpenting dari sekian banyak terminologi yang diketengahkan oleh para pemikir sekuler tersebut, intinya hanya satu, yaitu melagukan kembali teori (ad-Dzahri wa al-Batin) yang diprakarsai dan diploklamirkan oleh kalangan Syi’ah khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah.
Untuk melihat lebih dekat unsur pemakaian terminologi ini, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash”, ia berpendapat bahwa segala teks agama tidak mampu memberikan makna hakiki, oleh karena itu, tidaklah patut bagi seorang berinteraksi terhadap teks-teks agama melalui makna lahiriyah yang tercantum dan tercatat jelas dalam subuah lafadz, dan sebaik-baik cara untuk berinteraksi dengan teks al-Qur’an adalah mencari makna batin yang terselubung dan tersembunyi dibalik lafadz yang lahir” [11].
Senada pada tempat lain, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash” menegaskan bahwa untuk memahami inti dari suatu lafadz, hendaknya tidak hanya berhenti pada artian lahiriah lafadz tersebut, melainkan harus menelusuri secara mendalam makna batin yang tersembunyi dibalik lafadz tersebut [12].
Dalam konteks yang sama Nasr Hamid Abu Zaid, tidak ketingggalan dalam masalah ini, ia ikut memastikan bahwa esensi teks al-Qur’an itu terletak pada maknanya dan bukan pada lafadznya [13].
Dan hal senada ditegaskan pula oleh Muhammad Sai’id al-‘Isymawi, dengan terang-terangan ia mengatakan dalam bukunya “Hishad al-‘Aql”: “Sesungguhnya al-Qur’an itu turun berdasarkan makna dan tujunannya –bukan berdasarkan pada lafadznya-[14].
Inilah sederetan dari beberapa penuturan-penuturan dan penegasan-penegasan yang bercorak sekuler yang dikonsumsikan oleh para pemikir liberal di Timur Tengah, lalu diadopsi oleh selompok kajian-kajian liberal di Indonesia.
Dengan demikian dalam asumsi pemikiran sekuler dan liberal, hal yang paling utama dalam memahami teks al-Qur’an bukan bergantung pada makna harfiah sebuah lafadz, melainkan makna batin yang terselubung dibalik lafadz tersebut, dan ini merupakan lagu dan ide lama Syi’ah, khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah yang telah muncul pada tahun 250 Hijriah.
Di sinilah letak kesamaan metode penafsiran antara Syi’ah Bathiniyah dengan gerakan sekuler dan leberal, yang keduanya berasumsi bahwa lahiriah sautu teks agama tidak dapat dijadikan patokan pemahaman, sebab ia tidak boleh memberikan suatu makna hakiki.(Bersambung)
Catatan :
[1] Seandainya Ibnu Taimiyah masih hidup sekarang maka golongan sekuler atau liberal akan ia juluki “Bathiniyah”.
[2] Al-Fikr al-Isma’ily fi al-‘Ashr al-Haakim bin Amrillah, halaman 108, Dar al-Madaa li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, Dimsyiq, Suriah, cet 1/1980, Terjemah: Saifuddin al-Qashir, Judul asli: “Hamd ad-Din al-Kirmani”.
[3] Lihat desesrtasi penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqdiah al-Isma’ilyah wa Falsafatuha, halaman 89 – 100, Darul Kutub al-Ilmiah, Bairut, Lebanon, 2009.
[4] Zaadul Musaafirin, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal: 180. ad-Diwan, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal:238, dikutip dari Muqaddimah Jaami’ al-Hikmatain, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal: 56, dar at-Tsaqafah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, Kairo, Mesir, 1974, Taqdim: wa Tarjamah dari bahasa Persia: DR. Ibrahim ad-Dasuqi Syata, dan lihat: Kitab Syajarah al-Yaqin, ad-Daa’I Abdan al-Qirmithi, hal: 38, 39, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut, Lebanon, cet 1/1982, editor: DR. Arfi Tamir.
[5] Lihat kitab al-Majalis al-Musayarat, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, hal: 86, Dar al-Muntadhar, Bairut, Lebanono, cet 1/1996, editor: al-Habib al-Faqi, Ibrahim Syabbuh, Muhammad al-‘Alawi. Kitab Asas at-Ta’wil, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, hal: 28, Dar al-Ma’arif, Kairo, Mesir, cet 1 tanpa tahun terbit, editor: DR. Arif Tamir. Ar-Risalah al-Muzdhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, hal: 129, Dar al-Masiirah, Baerut, Lebanon, cet 1/1988, editor: DR. Arif Tamir.
[6] Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadil, ad-Da’I Ali bin al-Walid, jilid 1, hal: 1, Muassasah ‘Izzuddin, Bairut, Lebanon, 1982, editor: DR. Musthafa Gaalib.
[7] Al-‘Alim wa al-Ghulam, ad-Da’I Ja’far bin Mansur, hal: 12, al-Muassasah al-Jami’iyah, li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, Bairut, Lebanon, cet 2/1987, editor: DR. Musthafa Ghalib.
[8] Lihat tafsir at-Tustari, hal: 82.
[9] Lihat: Min Qadhayaa at- Tasawwuf, DR. Muhammad al-Jalayand, hal: 137-142.
[10] Kitab Sulaymaniah, Faiz ad-Dhman al-Bathini, hal: 51.
[11] Lihat: Naqd an-Nash, Ali Harb, hal: 15, al-Markaz at-Tsaqafiy al-‘Arabi, cet 1/1993.
[12] Lihat: Naqd an-Nash, Ali Harb, hal: 24.
[13] Lihat: al-Imam as-Syafi’I wa Ta’sis al-Idulujiyahah al-Wasathiyah, hal: 20 Dar Sinaa, Kairo, cet 2/1992.
[14] Hishad al-‘Aql, al-‘Isymawi,

Bagian Ketiga
B. Penggunaan Ta’wil Bebas, Liar dan Spekulatif (Interpretation Uncontrolled).
Bila diamati secara seksama, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah menciptakan gagasan teori lahir dan batin atau dalam istilah mereka “al-Muthl wa al-Mamthul”, tujuannya adalah untuk mengimpretasi teks-teks agama, syariat, baik Qur’an ataupun Sunnah, karena dalam mazhab mereka ta’wil merupakan pilar, asas dan landasan utama dalam proses pengukuhan sebuah aqidah dan penegakan ideologi, atas dasar tersebut yang membadakan Syi’ah Isma’iliyah dengan mazhab-mazhab lain.
Di mana mereka dengan penuh keberanian menta’wilkan seluruh teks-teks agama tanpa terkecuali, dengan landasan teori lahir dan batin, dan sebebarnya mereka lakukan demikian tak lain dan karena mereka tidak menemukan solusi yang tepat untuk mendukung ideologi mereka, oleh karena itu mereka sengaja menginterpretasikan seluruh teks-teks agama baik Qur’an ataupun Sunnah.
Salah satu tokoh Syi’ah Imamiyah yang bernama Syekh Ja’far Subhani, dalam bukunya “Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal”, ia menegaskan tentang peranan dan urgensi ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, dengan mengatakan: “Sesungguhnya masalah penta’wilan secara lahiriyah dari suatu teks-teks syari’at, adalah merupakan landasan utama dalam ideologi Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, sebab ta’wil merupakan asas dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah, sehingga bila ta’wil ditiadakan dalam aliran tersebut dan hanya berhenti pada pengertian lahiriyah suatu teks, maka aliran Syi’ah Isma’iliyah tidak berbeda dengan aliran-aliran lainnya, oleh karena itu mereka mengimplementasikan ta’wil dalam seluruh permasalahan aqidah ataupun syari’at, terlebih lagi dalam penafsiran Imamah” [1].
Namun hemat penulis, syekh Ja’far Subhani sebagai tokoh Syi’ah Imamiyah memaparkan bahwa Syi’ah Isma’iliyah tak dapat dipisahkan dari ta’wil, sebenarnya Syi’ah Imamiyah pun demikian, dalam artian ta’wil dalam aliran Syi’ah Imamiyah mendapatkan tempat yang tinggi juga, sebab merekapun menggunakan ta’wil bebas dan liar. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca buku penulis :"Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma'iliyah wa Falsafatuha, Darul Kutub Ilmiyah, Bairut, Lebanon, 2009".
Sebagi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ta’wil dalam perspektif Syi’ah Bathiniyah? Untuk menjawab, penulis menuqil definisi salah satu tokoh kontemporer Syi’ah Isma’iliyah DR. Arif Tamir, ia mengatakan: “Ta’wil adalah makna batin dari suatu lafadz, atau dimaksudkan juga sebagi symbol dan esense, di mana hikikat makna suatu lafadz terdapat dalam kandungan lafadz itu sendiri, dan lafadz itu tidak mampu untuk menunjukkan suatu hakikat dan kebenaran” [2].
Dari definisi di atas dapat digaris bawahi bahwa kaedah ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah adalah merupakan penerapan dari teori lahir dan batin yang telah kita ketengahkan sebelumnya, sebab menurut asumsi mereka makna lahir tidak dapat memberikan suatu makna yang hakiki atau kebenaran, oleh karena itu dalam memahami sebuah teks-teks agama, seseorang tidak akan mampun memahaminya bila hanya bergantung kepada lahiriyah teks tersebut, melainkan harus menelusuri lebih jauh dan mendalam makna-makan batin yang terkandung dalam setiap lafadz.
Motif inilah yang membuat ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sangat menekankan pentingnya ta’wil dalam mengartikan permasalahan-permasalahan agama, sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi’ah Isma’iliyah Abu Ya’qub as-Sijistani (wafat 353 H): “Barang siapa yang tidak mengerti ilmu ta’wil serta memahaminya secara mendalam, maka ia akan membohongi dan mendustakan al-Qur’an” [3].
Di lain tempat filsof Isma’iliyah Bathiniyah Abu Mu’ayyan al-Marwazi alias Nasir Khasru berkata: “Ta’wil adalah sebuah kebenaran yang hakiki” [4]. Senada dengan diatas Ya’qub bin Killis, menegaskan lebih jauh bahwa: “Sesungguhnya al-Qur’an itu tidak akan jelas maksud dan tujuannya kecuali dengan diiringi dengan ta’wil” [5].
Namun perlu diperhatikan disini, sebenarnya masalah ta’wil bukanlah sautu hal yang diperselisihkan eksistensinya dalam kajian agama, bahkan mayoritas ulama dari berbagai aliran teologi dan pemikiran Islam, khususnya aliran Asy’ariah, Maturidiyah, Mu’tazilah dan Syi’a Zaidiyah, mereka sangat memberikan perhatian dan menganggap ta’wil itu penting, oleh karena itu mereka sepakat membolehkan ta’wil dalam berinteraksi dengan teks-teks Qur’an.
Namun ada batasan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipegangi bagi siapa saja yang ingin menta’wil teks Qur’an ataupun Sunnah, di mana bagi mereka penggunaan ta’wil hanya kepada ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat), dan tidak dibenarkan dalam ayat-ayat yang jelas (Muhkamaat), dan tidak semua ayat-ayat mutasyabihat boleh dita’wilkan atau diinterpretasikan.
Sebagaimana yang dinyatakan dan ditegaskan oleh pakar tafsir dari Andalus Imam Qurthubi, di mana beliau membagi ayat-ayat Mutasyabihat kepada dua kategori, yaitu:
Pertama, permasalahan-permaslahan yang kandungannya sama sekali tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti: fakta-fakta hari kiamat.
Kedua, perihal yang dapat diketahui oleh orang-orang berilmu saja “ar-Rasikhuna fi al-‘Ilmi”, seperti permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt.
Dalam pandangan Imam Qurthubi kategori pertama di atas, sama sekali tidak dapat diinterpretasikan oleh seseiapapun, sebab berkaitan dengan rahasia alam ghaib, adapun yang kategori kedua, boleh dibantu memahaminya dengan ta’wil, asalkan melalui proses penta’wilan yang betul dan diinterpretasikan oleh ulama yang tahu seluk beluk gramatikal bahasa Arab dan ilmu agama lainnya” [6]. Untuk lebih jelasnya silakan membaca buku penulis: "Masaail al-I'tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, Muassasah al-'Alya, Kairo, Mesir, 2006".
Di tempat lain Imam Syatibi menggariskan kebolehan penggunaan ta’wil dengan dua persyaratan, yaitu:
Pertama, lafadz yang akan dita’wilkan hendaknya seseuai dengan makna lahiriyah bahasa Arab, atau sesuai dengan arti kata lain yang dipilih dan dikenal dalam bahasa Arab.
Kedua, makna yang dipilih hendaknya sesuai dengan kebenaran (kenyataan), dengan jalan menyesuaikan dan menelusuri teks-teks ayat di tempat lain.
Dengan memenuhi kedua syarat di atas, maka akan Nampak jelas kebenaran makna batin suatu lafadz dengan menggunakan ta’wil, dan hal ini berbeda dengan cara penta’wilan di kalangan Bathiniyah, di mana mereka hanya mengandalkan ilmu batin dan sama sekali tidak melihat segi gramatikal bahasa Arab” [7].
Di sinilah kekeliruan dan kesalahan penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, dan diikuti oleh kalangan sekuler dan liberal di Timur Tengah, melalui istilah “Hermeneutika”, di mana penta’wilan mereka tidak didasari dan dilandasi dengan gramatikal bahasa Arab, di samping itu mereka tidak membedakan antara ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat) dan ayat-ayat yang jelas (Muhkamat), bagi mereka ayat Mutasyabihat dan ayat Muhkamat sama saja dan mesti dita’wilkan, atas asumsi demikian, mereka menta’wilkan seluruh ayat-ayat Qur’an secara batin, tanpa melihat latar belakang posisi ayat tersebut, dan hal ini terjadi karena tidak adanya standarisasi ta’wil dalam mazhab mereka.
Konsekwensi dari penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah berdampak besar pada beberapa permasalahan syari’at, sebagi contoh:
• Mereka berasumsi bahwa shalat menurut makna batinnnya adalah mengakui para wali-wali, wali Allah yang dimaksud adalah para Imam-Imam mereka, oleh karena itu ketaatan dan kepatuhan kepada Imam hukumnya wajib.
• Ibadah puasa bagi persepsi mereka bukanlah bermaknakan menahan diri dari lapar dan dahaga, melainkan maknanya adalah menyembunyikan segala rahasia Syi’ah Isma’iliyah terhadap orang di luar mazhab Syi’ah Isma’iliyah.
• Begitu halnya dengan Ka’bah baitullah al-Haram, mereka ta’wilkan dengan senganya mengalihkan maknanya kepada Imam-Imam yang harus ditaati dan dipatuhi segala perintah dan larangannya, sebab Imam itu adalah hakakat daripada Ka’bah Baitullah al-Haram [8].
• Dalam surah an-Nur ayat: 36, yang dimaksud dengan perkataan “al-Masajid” menurut persepsi mereka adalah para Imam-Imam Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan para Nabi [9].
• Perkataan “Wa ‘Amiluu as-Shalihat” dalam surah al-Kahfi, ayat 107, bagi mereka adalah mentaati kepmemimpinan imam, sebab keyakinan mereka tidaklah diterima amal ibadah seseorang, baik yang bersifat fardhu atau sunnah, kecuali bila mereka sudah mentaati para imam mereka yang suci dari noda dan dosa (Ma’sum) [10].
Perlu diperhatikan bahwa proses interpretasi ayat-ayat Qur’an dan Sunnah dalam aliran Syi’ah Isma’Iiyah Bathiniyah, secara general sebenarnya bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh kedudukan para Imam-Imam mereka, sehingga mereka berasumsi bahwa persoalan ta’wil adalah salah satu mu’jizat para Imam, dan Imam al-Muntadzar sebagi pucuk pedang segala interpretasi (ta’wil) [11].
Dari beberapa contoh pena’wilan yang dilakukan oleh Syi’ah Isma’iliyah di atas, jelas mereka melakukannya secara liar dan bebas, yang dibangun tidak berdasarkan kepada kode etik ta’wil yang semestinya berpedoman kepada gramatikal bahasa Arab, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh filsuf Islam Ibnu Rusyd [12].
Fenomena ta’wil Syi’ah Isma’iliyah dapat dijumpai dalam wacana pemikiran sekuler dan liberal di kalangan intelektual di Timur Tengah, di mana ta’wil bagi mereka adalah satu-satunya jalan untuk memahami agama secara benar dan pasti, sebab ta’wil itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil produk bangsa Arab, yang bertujuan untuk mencapai sebuah kebenaran, hal ini dikatakan oleh pemikir liberal Ali Harb dalam bukunya yang berjudul: “at-Ta’wil wa al-Hakikah” [13].
Hal yang senada Hasan Hanafi berpendapat bahwa penggunaan ta’wil sangat penting ketika ingin memahami suatu teks agama, karena tidak satupun teks yang tidak dapat dita’wilkan, bahkan teks-teks agama yang sudah jelas maknanya (Muhkamat) tentu ada solusi pena’wilannya [14].
Tentunya pernyataan ini sama persis dengan pernyataan yang telah diagung-agungkan oleh Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sebelumnya. Bahkan terdapat persepsi yang lebih berani yang datang dari salah satu pemikir liberal yang bernama Tayyib Tizni, ia terang-terangan menafikan adanya ayat-ayat Muhkamat yang jelas dan tidak ada kesamaran di dalamnya, oleh karena itu tidak aneh kalau para kaum liberal berasumsi bahwa isi Qur’an semuanya Mutasyabihat [15].
Nasr Hamid abu Zaid berargumentasi lebih jauh tentang peranan dan keutamaan ta’wil dalam memahami teks agama, hal ini dapat dilihat ketika ia mencoba untuk mengkomparasikan antara pemakaian tafsir dan ta’wil, dengan mempersoalkan yang mana lebih utama, tepat dan benar dari keduanya ketika ingin berinteraksi dengan teks-teks agama (al-Qur’an dan Sunnah), ternyata menurutnya cara yang paling tepat untuk memahami teks secara dalam adalah melalui proses ta’wil, dengan alas an diantaranya lafadz “tafsir” hanya disebut satu kali dalam al-Qur’an, sedangkan lafadz “ta’wil” disebutkan sebanyak tujuh belas kali, dan ini membuktikan kelayakan ta’wil daripada tafsir16.
Di samping itu, para pemikir liberal yang diketuai oleh Nasr Hamid Abu Zaid menamakan ta’wil dengan istilah “Hermeneutika” 17 yang dipinjam dari luar Islam dan tidak ada kaitannya dengan istilah agama dan wacana keislaman, sebab hermeneutika itu sendiri adalah kosa kata filsafat barat, yang juga erat hubungannya dengan interpretasi Bible.
Hermeneutika muncul di dalam konteks peradaban Barat, di mana konsepnya didominasi oleh ilmu yang skeptic, oleh karena itu konsep yang mereka tawarkan kepada pembaca bersifat makna dan kandungan konsep hermeneutika selalu dalam perubahan, pergeseran dan perbedaan, bahkan mengalami kontradiktif antara satu teori hermeneutika dengan teori-teori hermeneutika lainnya, dalam sejarah tercatat bahw yang mempolopori hermeneutika itu adalah seorang filosof yang beragama Protestan berkembangsaan Jerman beranama: Friedrich Schleiermacher (1268-1834), baginya peranan hermeneutika adalah untuk memahami teks sebaik atau lebih baik dari pada pengarang buku [18].
Ide dan gaya serta konsep memahami teks seperti ini sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat meragukan teks-teks Qur’an, dan akan menghapus kebenaran isi dan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab kebenaran teks agama baik Qur’an ataupun Sunnah adalah kebenaran mutlaq, dengan demikian tidak patut hermeneutika dipakai dalam memahami teks-teks agama, melainkan yang layak adalah memakai konsep Islami yaitu “Ta’wil”.
Untuk mengetahui sejarah penggunaan terminologi Hermeneutika di Timur Tengah, silahkan membaca buku sahabat kami asal Syiriah Damaskus, DR. Ahmad Idris at-Tha'an: "al-'Almaniyyun wa al-Qur'an al-Karim", Darul Ibni Hazam, Riyadh, Saudi Arabiah, 2007, asal buku adalah desertasi Darul Ulum jurusan Filsafat Islam, Universitas Kairo, th 2003, judul aslinya: al-Fikru al-'Arabiy al-Almani wa Mauqifuhu min An-Nash al-Qur'an". Jumlah halaman: +800. Dan hal yang menarik perhatian dari desertasi tersebut, dewan pengujinya terdiri dari DR. Muhammad Imarah dan DR. Hasan Hanafi, sehingga persidangan desertasi berubah menjadi perdebatan ilmiah yang sengit antara dewan penguji, dan dipandu oleh dosen pembimbing desertasi, DR. Sayyid Rizq al-Hajar.
Yang fatal dari pada teori hermeneutika adalah teori tersebut dilandaskan kepada faham relatifisme, hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Jean Grisch bahwa: “Sama sekali tidak dapat ditemukan ta’wil yang mengandung kebenaran, melainkan ta’wil itu beraneka ragam”. Sementara Qur’an sebagai kitab suci sifatnya mutlak dan tidak relatif.
Bila kita cermati, kajian-kajian hermeneutika sebenarnya disisipkan secara halus dalam kajian-kajian al-Qur’an, melalui terminology-terminologi, seperti: al-Qira’ah, al-Muqarabah, at-Ta’wil al-Haditsah, at-Ta’wil al-Mu’ashir dan berbagai macam terminology lain yang sebenarnya bertujuan menyesatkan bukan mencari kebenaran.
Bahwkan para pemikir liberal di Timur Tengah kerap kali mengesksploitasi terminologi “Ta’wil” yang merupakan terminologIi Islam, sebagai cara atau pancingan untuk mengakui teori Hermeneutika, dengan melalui propaganda, seperti slogan pembaharuan, menela’ah kembali teks-teks agama, dengan penampilan baru, modern dan kontemporer serta bersifat pencerahan (Enlightenment).
Konsekweinsinya, teks-teks Qur’an dan Hadits yang telah tetap dan kokoh pada ayat (Muhkamat), mereka jadikan sebagai sejarah (historical) yang bias diperbaharui dan dirubah kapanpun dan di manapun sesuai dengan kehendak dan keinginan serta cita rasa individu masing-masing, oleh karena itu Muhammad Arkon, salah satu pemikir liberal asal Jazair dalam hal ini sangat menyangkan para ulama tafsir yang enggan memakai penafsiran symbolik (at-Ta’wil ar-Ramzi) yang dipakai oleh para ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan ulama Tasawwuf [19].
Dengan demikian dapat secara jelas dan nyata, betapa pentingnya peranan ta’wil dalam kajian pemikiran Syi’ah Isma’iliyah dan Liberal, sebab bagi mereka ta’wil adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui esense dan kebenaran ajaran agama. (Bersambung)
Catatan :
[1] Lihat: Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal, 8/261, dinuqil dari www.rafed.net.
[2] Muqaddimah Asas at-Ta’wil, hal:7, Darul Ma’arif, Kairo, cet 1/tanpa tahun.
[3] Kitab al-Ifthkhar, hal: 99, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Mustafa Ghalib.
[4] Jami’ al-Hikmatain, hal:241, Darul Thaqafah, Kairo-Mesir, 1974. diterjemahkan dari bahasa Persia oleh: DR. Ibrahim ad-Dasuqi.
[5] Ar-Risalah al-Mudzhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, Darul Masirah, Bairut-Lebanon, cet 1/1988, editor: DR. Arif Tamir.
[6] Lihat: Masail al-I’tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, hal:74, Muassasah al-‘Alya, Kairo-Mesir, cet 1/2006.
[7] Lihat: al-Muwafaqat, 3/294.
[8] Lihat: al-Iftikhar, hal:116, 126, 128, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Mysthafa Ghalib. Al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal: 98, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, cet 1/1984, editor: DR. Musthafa Ghalib.
[9] Lihat: al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal 63.
[10] Lihat: Kanzul Walad, Ibrahim al-Hamidi, hal: 28, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, tanpa tahun cetak, editor: DR. Musthafa Ghalib.
[11] Lihat: ar-Risalah al-Mudzhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, hal: 29, Darul Masirah, Bairut-Lebanon, cet 1/1998, editor: DR. Arif Tamir.
[12] Lihat:Fashlul Maqaal, Ibnu Rusyd, hal:33, Darul Ma’arif, Kairo, cet 2, tanpa tahun, editor: DR. Muhammad Imarah.
[13] Lihat: at-Ta’wil wa al-Hakikat, Ali Harb, hal: 14, Darul Tanwir, Bairut-Lebanon, cet 2/1995.
[14] Lihat: Min al-Aqidah Ila at-Tsaurah, 1/398, Maktabah Madbuli, Kairo, tanpa tahun. Dirasat Islamiyah, hal:346, Darul Tanwir, Bairut-Lebanon, cet 1/1982.
[15] Lihat: Khalid as-Saiidani, an-Nash al-Qur’an Amama Isykaliyah al-Binyah wa al-Qira’ah, hal: 261.
[16] Lihat: Mafhum an-Nash, hal:256, al-Hai’ah al-Mishriayah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 1993.
[17] Universitas Amerika di Kairo menubuhkan majalah sekuler dengan penamaan “al-Hermeneutiqa wa at-Ta’wil”, di antara penulisnya adalah tokoh-tokoh liberal terkenal, seperti: DR. Hasan Hanafi, DR. Nasr Hamid Abu Zaid.
[18] Lihat: F. Schleiddrmacher, Hermeneutique, labor et fides. 1987. p:77. P. Ricoeur: le conflit des interpretation. Ed. Seuil 1969. p: 10. Min an-Nash Ila al-Fi’li, Paul Ricoeur hal: 63, 111, terjemahan: Muhammad Baraadah. ‘Ain li ad-Dirasah wa al-Buhuts al-Insaniyah wa al-Ijtima’iyah, cet 1/2001. al-Balaghah wa as-Si’riyyah wa al-Hermeneutiqa, Paul Ricouer, hal: 113, Majalah al-Fikr wa an-Naqd, Marocco, Februari 1999, seri 16, Nadzariyah at-Ta’wil, DR. Musthafa Nasif, hal: 33, 61, 89, an-Naadi al-Adabi at-Tsaqafi, Jeddah, Saudi Arabiah, cet 1/2000.
[19] Lihat: Min al-Ijtihad Ila Naqd al-‘Aql al-Islami, Arkoun, hal: 80.
Selengkapnya...

Rabu, 20 Januari 2010

AS Bela Iran Dalam Pemberontakan Syiah Yaman

MANAMA, BAHRAIN – AS tidak percaya bahwa Iran memberi bantuan pada revolusi Syiah di Yaman utara, memperingatkan terhadap upaya-upaya untuk mencitrakan situasi tersebut sebagai sebuah konflik sektarian.

“Banyak dari teman dan rekan kami yang telah berbicara pada kami tentang kemungkinan adanya dukungan dari luar bagi Houthi,” ujar wakil menteri AS untuk urusan Timur Jauh Jeffrey Feltman dalam sebuah konferensi keamanan regional di Manama pada hari Jumat, 11 Desember.

“Kami telah mendengar teori-teori tentang dukungan Iran pada Houthi.”

“Jujur, kami tidak memiliki informasi independen akan hal ini,” ujarnya.

Pemerintah Yaman telah lama memerangi pejuang pemberontak Syiah, yang dikenal dengan nama Houthi, di provinsi utara Saada sejak tahun 2004.

Pemerintah Yaman menuduh pemberontak Syi’ah didukung oleh sejumlah kelompok di Iran.

Sanaa menuduh para pemberontak berusaha mendirikan kembali kekuasaan para ulama yang berakhir dengan adanya kudeta republik tahun 1962.

Para pemberontak membantah klaim tersebut, mengatakan bahwa mereka mempertahankan desa mereka dari apa yang mereka sebut agresi pemerintah.

Arab Saudi terseret ke dalam konflik ini bulan lalu ketika penjaga perbatasan Saudi terbunuh dan dua desa diserang oleh kelompok pemberontak.

Dalam sebuah ancaman untuk meningkatkan ketegangan, para pemberontak Houthi mengumumkan pada hari Jumat bahwa mereka akan merebut kendali pos militer Saudi di perbatasan Yaman-Saudi.

Para pemberontak mengatakan dalam sebuah pernyataan online bahwa mereka juga telah merampas persenjataan, material komunikasi, kendaraan militer, dan peralatan pengintaian Saudi.

Pejabat pertahanan Saudi membantah klaim tersebut, namun mengatakan bahwa pertempuran sengit terjadi di dekat pos militernya.

Pemerintah AS dan Arab memperingatkan upaya-upaya untuk mencitrakan pertempuran itu sebagai sebuah konflik sektarian.

“Orang-orang tampaknya menemukan alasan untuk memperluas konflik ketika mempersempitnya menjadi kepentingan kolektif kami,” ujar Feltman.

Diplomat AS menyerukan pada semua pihak untuk menjaga agar isu itu tetap berada dalam lingkup Yaman.

“Saya rasa berbahaya untuk melebih-lebihkan perpecahan antara Sunni-Syiah.”

Menteri Luar Negeri Bahrain, Sheikh Khalid bin Ahmed Al Khalifa, menyerukan hal serupa.

“Sangat jelas bahwa ini sengaja dicitrakan sebagai sebuah konflik Sunni-Syiah,” ujar Sheikh Khalid.

Diplomat top Bahrain itu mengatakan bahwa kemiskinan dan kekurangan sumber daya serta pembangunan menjadi akar dari konflik tersebut.

Ia menggarisbawahi kebutuhan akan perubahan dalam pola berpikir dan pendekatan yang tidak terlalu fokus pada perbedaan antar sekte.

“Ini sama dengan di Irak – antara Sunni, Syiah, dan Kurdi – dan di negara-negara lain,” ujarnya.

“Ini adalah persoalan serius bagi kami.”

Di sisi lain, Iran justru memberikan tudingan yang jelas akan adanya campur tangan AS dalam konflik Yaman – Saudi.

Ali Larijani, ketua parlemen Iran, menuduh Washington mendalangi pemboman Arab Saudi dari pemberontak Syiah di Yaman, situs parlemen dilaporkan.

"Peristiwa yang menyedihkan di negara Islam Yaman yang telah meningkat selama dua minggu dan campur tangan Saudi di Yaman melalui pemboman oleh pesawat tempur berulang-ulang sungguh mengherankan," seperti yang dikutip ketika Larijani mengatakan kepada deputi.

Dia menuduh AS berada di balik pengeboman, mengatakan: "Laporan menunjukkan bahwa pemerintah AS bekerja sama dalam langkah yang menindas."

Komentar Larijani datang kurang dari seminggu setelah Sanaa mengkritik "campur tangan" Iran dalam urusan mereka setelah Teheran mengecam intervensi regional dalam perang Yaman dengan para pemberontak dalam sebuah kiasan terselubung yang mengacu ke Arab Saudi.

Parlemen Iran juga menyerukan Organisasi Konferensi Islam untuk ikut campur tangan dalam menghentikan pembunuhan Muslim Yaman.

Pasukan Yaman dan Saudi membombardir posisi pemberontak Syiah di sepanjang perbatasan antara kedua negara kemarin, menurut saksi dan pejabat militer. (syiahindonesia)
Selengkapnya...

Kamis, 07 Januari 2010

Cikal Bakal Syiah Di Indonesia

"Mereka lupa bahwa sesungguhnya negara tersebut memang didirikan di atas genangan darah penentangnya terutama Sunni..."

Ketika Meir Husein Musavi kalah dalam pilpres Iran juni 2009 dan menyerukan para kaum reformis untuk menggugat, menghujat dan menentang kecurangan yang terjadi dalam pilpres, namun seruannya dibungkam dengan tangan besi Ahmadi Nejad, banyak pemuja Iran di Indonesia yang menafsirkannya dengan dasar husnuzan... Mereka lupa bahwa sesungguhnya negara tersebut memang didirikan di atas genangan darah penentangnya terutama Sunni... Tidak ada data otentik yang menyebutkan kapan persisnya ajaran syi'ah masuk ke Indonesia. Namun melihat fakta dan sejarahnya, masuknya syi'ah ke Indonesia tak bisa lepas dari sejarah politik negeri asal syi'ah itu berada, yaitu Iran. Sejak tumbangnya Syah Reza Pahlevi pada tahun 1979 melalui sebuah revolusi besar dan mendunia yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Sejak itu pula ajaran syi'ah menyebar ke berbagai negara. Gema jihad melawan kemunkaran dan kezholiman dari Iran ditransfer ke berbagai penjuru dunia. Sehingga mendapat sambutan luas dan respon positif dari berbagai kalangan di berbagai belahan dunia dengan terbentuknya solidaritas muslim dunia yang secara moral mendukung gerakan tersebut.

Dari sepak terjang gerakan tersebut ada hal yang menarik yang bisa membangun dan menumbuhkan rasa solidaritas dunia Islam tersebut, yaitu militansi ke-Islaman. Orang melihat bagaimana keadilan melawan kezholiman, kebenaran melawan kebathilan , kebaikan melawan kemunkaran, dan menang.

Akhirnya menyedot perhatian dunia Islam dan banyak orang menyanjung dan mengagumi sang pemimpin revolusi yaitu Ayatulloh Khomeini, dan mereka pun berharap dan berdo'a untuk kemajuan Islam dan kebangkitan kaum muslimin.

Banyak orang melihat bahwa revolusi Islam Iran pimpinan Khomeini ini sebagai tonggak kebangkitan Islam diabad 15 Hijriyah. Akhirnya banyak orang yang menutup mata atau meremehkan dan mengabaikan paham syi'ah dibalik gema gerakan tersebut, karena yang ditonjolkan adalah faktor keadilan versus kezholiman, kebenaran melawan kemunkaran, yang ditampakkan kepermukaan adalah issu pembelaan terhadap mustadh'afin (orang-orang tertindas), disamping issu penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (sekalipun bukan atau belum) telah menjadikan banyak orang dari kalangan muda dan sebagian tokoh-tokoh intelektual kita terkagum-kagum dan menjadi pemuja Iran dan pemimpinnya Khomeini seperti halnya Amien Rais, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid dan lain-lain. (lihat Mengapa menolak syi'ah hal.132 dan seterusnya).

Gerakan syi'ah ini masuk ke Indonesia ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok yang ditengarai berbagai kalangan mengarah ke gerakan syi'ah seperti halnya di Iran, atau muncul gema gerakan syi'ah yang dihembuskan tokoh-tokoh Iran yang sengaja disebar untuk mengekspor Revolusi Iran itu keberbagai penjuru dunia.

Perkembangan Syi'ah atau yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait di Indonesia ini cukup pesat. Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan didirikan di beberapa kota di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Pekalongan, Bangil, Lampung dan lain sebagainya. Dan membanjirnya buku-buku tentang syi'ah yang sengaja diterbitkan oleh para penerbitnya yang memang berindikasi syi'ah atau lewat media massa, ceramah-ceramah agama dan lewat pendidikan dan pengkaderan di pusat-pusat dan majelis-majelis ta'lim.

Gerakan mereka bervariasi, ada yang begitu agresif dalam menda'wahkan ke syi'ahannya dan ada juga yang biasa-biasa saja dan ada juga yang lambat. Ada yang begitu frontal dan ada juga yang begitu sensitif.

Namun demikian, semuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu Syi'ah. Semuanya bekerja untuk mempropagandakan dan memperkenalkan Revolusi Islam Iran tersebut, mengangkat panji-panji revolusi, memperkenalkan syi'ah dipanggung politik dunia dan mendesakkan kepada dunia Islam untuk mengakui keberadaan Syi'ah sebagai salah satu aliran yang sah didunia Islam.

Apalagi vokalitas dalam mensikapi kekuatan hegemoni Barat yang cenderung ingin menguasai dunia, semakin menarik perhatian kaum muslimin yang kurang mengetahui hakikat agamanya sendiri dan tidak memahami hakikat syi'ah yang sebenarnya, ikut mendukung dan bahkan membantu gerakan syi'ah ini.

Disisi lain banyak pula tokoh-tokoh Islam dinegeri ini yang sudah terpengaruh paham syi'ah ini ikut serta menda'wahkan paham ini dan mengajak kaum muslimin untuk memperkecil perbedaan dan perselisihan, bahkan ada yang terang-terangan pasang badan untuk membela syi'ah, seperti yang dilakukan Said Aqiel Siradj, wakil katib syuriah PBNU yang pernah digugat sejumlah kyai dan pemimpin NU, karena aktivitas propaganda syi'ahnya. Ia mengatakan seperti dikutip Panji Mas No. 29 tahun 1-3 November 1997, "Menghadapi serangan terhadap Syi'ah, tak perlu ulama syi'ah turun tangan, cukup saya dan Gus Dur dari NU, Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Pak Amien Rais dari Muhammadiyah, yang melakukan pembelaan" katanya saat menjadi pembicara dalam acara Do'a Kumail (acara khas syi'ah) digedung Darul Aitam Tanah Abang, Jakarta. (lihat Mengapa Kita Menolak Syi'ah hal. 254).

Sehingga tanpa disadari lambat tapi pasti, Ahlus Sunnah yang merupakan keyakinan mayoritas penduduk negeri ini digiring untuk mengikuti dan mendukung kebatilan yang ada pada ajaran syi'ah tersebut.

Respon yang luar biasa juga terhadap da'wah dan ajakan para propagandis Syi'ah ini banyak ditunjukan oleh kalangan kampus terutama mahasiswanya dan kalangan awam Ahlus Sunnah, hingga banyak diantara mereka yang sudah terasuki paham aliran ini. Dan yang menarik bagi mereka tentunya karena ada kawin kontraknya (nikah mut'ah).(www.islam-indo.org)
Selengkapnya...

Insiden Baqi

"Insiden Baqi' yang terjadi pada tanggal 23 februari 2009 M yang lalu mengundang kaum muslimin untuk lebih mengerti akan hakikat aliran Syiah"

Tragedi tersebut bermula dari demonstrasi yang dilakukan kaum Syiah Saudi Arabia pada hari jumat 20 februari 2009 M untuk memperingati hari wafatnya Imam ke-II Al Hasan di komplek pemakaman Baqi' di dekat masjid Nabawi, akan tetapi demo tersebut berhasil digagalkan satuan keamanan yang terdiri dari polisi dan satuan Amar makruf (polisi agama).

Pada hari seninnya kelompok Syiah membuat strategi baru dengan mengerahkan ribuan wanita dan anak-anak untuk mengepung markas satuan Amar makruf sedangkan kaum laki-laki merangsek masuk menuju pemakaman baqi' lalu mengadakan seremoni ritual dengan meneriakkan "Labbaika ya Husein" (artinya: aku sambut panggilanmu wahai Husein) berbeda dengan ucapan seorang muslim saat haji "LabbaikaAllahumma" (artinya: aku sambut panggilan-Mu Ya Allah) seraya mengambil tanah dan batu nisan yang ada di pemakaman dan menginjak-injak kuburan para Sahabat Nabi.

Setelah tahu niat busuk kelompok ini, satuan amar makruf mengambil tindakan membelah kepungan wanita dan menghalaunya serta tambahan satuan polisi datang membubarkan ritual syirik dan penghinaan sahabat Nabi oleh kuam laki-laki Syiah dan meminta mereka untuk mengembalikan batu dan tanah pekuburan ke tempatnya, mereka menentang dan bentrokan tidak dapat dihindarkan yang menyebabkan korban jatuh dari kedua belah pihak.

TV Almanar yang merupakan corong propaganda Syiah yang berpusat di Libanon hanya memberitakan pemukulan yang dilakukan oleh satuan Amar makruf terhadap para wanita dan anak-anak Syiah. Dan tokoh-tokoh Syiah di dalam dam di luar Saudi mendesak kerajaan Arab Saudi untuk menindak satuan Amar makruf dan melepaskan laki-laki Syiah yang ditahan polisi. Tanpa menjelaskan kronologi tragedi.

Sebagai bukti dari penghinaan Syiah di atas anda bisa lihat cuplikan video di situs Youtube.

Semoga Allah menunjuki jalan yang benar kepada orang-orang yang sesat…
(sumber: www.islam-indo.org)
Selengkapnya...

Selasa, 05 Januari 2010

CINTA PALSU SYIAH PADA AHLUL BAIT

"Ahlul Bait" bukanlah istilah yang asing lagi di telinga sebagian kita. Bila disebut maka akan terlintas di benak kita tentang seseorang yang memiliki pertalian kekerabatan dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu saja, ini merupakan kehormatan tersendiri bagi orang tersebut.

Siapakah Ahlul Bait Itu?

Ahlul Bait adalah orang-orang yang sah pertalian nasabnya sampai kepada Hasyim bin Abdi Manaf (Bani Hasyim) baik dari kalangan laki-laki (yang sering disebut dengan syarif) atau wanita (yang sering disebut syarifah), yang beriman kepada Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan meninggal dunia dalam keadaan beriman. Diantara Ahlul Bait Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
1. Para istri Rasul, berdasarkan konteks surat Al-Ahzab:33
2. Putra-putri Rasulullah (tidak dikhususkan pada Fathimah saja)
3. Abbas bin Abdul Muththalib dan keturunannya
4. Al-Harits bin Abdul Muththalib dan keturunannya
5. Ali bin Abi Thalib dan keturunannya (tidak dikhususkan pada Al-Hasan dan Al-Husain saja)
6. Ja'far bin Abi Thalib dan keturunannya
7. Aqil bin Abi Thalib dan keturunannya
(Untuk lebih rincinya, silahkan lihat kitab "Syi'ah dan Ahlul Bait" dan "Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah")

Kedudukan Ahlul Bait

Kedudukan Ahlul Bait di sisi Allah dan Rasul-Nya amat mulia. Diantara kemuliaan itu adalah:
1. Allah bersihkan Ahlul Bait dari kejelekan. Dia shallallahu 'alaihi wa sallam berfirman yang artinya:
"Hanyalah Allah menginginkan untuk membersihkan kalian (wahai) Ahlul Bait dari kejelekan dan benar-benar menginginkan untuk mensucikan kalian." (Al-Ahzab:33)
2. Perintah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berpegang dengan bimbingan mereka. Beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا: كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِيْ
"Wahai manusia sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu kepada kalian yang apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Ahlul Bait-ku." (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)

Oleh karena itu tidaklah ragu lagi, bahwa Ahlul Bait memiliki kedudukan yang sangat istimewa di sisi Allah dan Rasul-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Dan tidak ragu lagi bahwa mencintai Ahlul Bait adalah wajib." Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullah berkata: "Dan termasuk memuliakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berbuat baik kepada keluarga dan keturunan beliau."

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat memuliakan Ahlul Bait baik dari kalangan para sahabat sendiri maupun para tabi'in.
Demikianlah hendaknya sikap seorang muslim kepada mereka. Wajib atas dirinya untuk mencintai, menghormati, memuliakan dan tidak menyakiti mereka.

Namun sudah barang tentu, tolok ukur kecintaan terhadap mereka semata-mata karena iman dan kekerabatan mereka dengan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Tanpa iman tidak akan bermanfaat sama sekali kekerabatan seseorang dengan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah 'Azza wa Jalla berfirman yang artinya:
"Yaitu di hari (hari kiamat) yang harta dan anak keturunan tidak lagi bermanfaat. Kecuali seseorang yang menghadap Allah dengan hati yang lurus." (Asy-Syu'ara`:88-89)

Demikian pula bila ada Ahlul Bait yang jauh dari sunnah Rasul, maka martabatnya di bawah seseorang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasul, walaupun dia bukan Ahlul Bait. Allah berfirman yang artinya:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa." (Al-Hujurat:13)

Ahlul Bait Menurut Tinjauan Syi'ah Rafidhah

Tinjauan mereka tentang Ahlul Bait sangat bathil dan zhalim, yaitu:
- Mereka membatasi Ahlul Bait Nabi hanya 4 orang: Ali, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain
- Mereka keluarkan putra-putri Rasul selain Fathimah dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka keluarkan semua istri Rasul dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka keluarkan 12 putra Ali (selain Al-Hasan dan Al-Husain) dan 18 atau 19 putri beliau dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka keluarkan putra-putri Al-Hasan dari lingkaran Ahlul Bait
- Mereka mengklaim bahwa keturunan Al-Husain-lah yang Ahlul Bait, namun tragisnya mereka keluarkan pula sebagian keturunan Al-Husain dari lingkaran Ahlul Bait karena tidak dicocoki oleh hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, mereka vonis sebagian keturunan Al-Husain dengan kedustaan, kejahatan dan kefasikan, bahkan vonis kafir dan murtad pun dijatuhkan untuk mereka. Wallahul Musta'an. (Lihat kitab "Syi'ah dan Ahlul Bait")

Walhasil, Syi'ah Rafidhah mempunyai dua sikap yang saling berlawanan terhadap Ahlul Bait yaitu ifrath (berlebihan di dalam mencintai) sebagian Ahlul Bait dan tafrith (berlebihan di dalam membenci) sebagian yang lain.

Fakta Sikap Ifrath Syi'ah Rafidhah terhadap Ahlul Bait

Al-Kulaini di dalam Al-Ushul Minal Kafi 19/197 mengatakan -dengan dusta- bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Sesungguhnya aku telah diberi beberapa sifat yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku -sekalipun para nabi-: Aku mengetahui seluruh kenikmatan, musibah, nasab, dan keputusan hukum (yang pada manusia). Tidaklah luput dariku perkara yang telah lampau dan tidaklah tersembunyi dariku perkara yang samar."
Di dalam kitab Al-Irsyad hal.252 karya Al-Mufid bin Muhammad An-Nu'man: "Ziarah kepada Al-Husain -yaitu kuburnya- radhiyallahu 'anhu kedudukannya seperti 100 kali haji mabrur dan 100 kali umrah."

Semakin parah lagi ketika mereka -dengan dusta- berkata bahwa Baqir bin Zainal Abidin rahimahullah berkata: "Dan tidaklah keluar setetes air mata pun untuk meratapi kematian Al-Husain, melainkan Allah akan mengampuni dosa dia walaupun sebanyak buih di lautan." Dalam riwayat lain ada tambahan lafazh: "Dan baginya Al-Jannah." (Jala`ul 'Uyun 2 hal.464 dan 468 karya Al-Majlisi Al-Farisi)

Perhatikanlah wahai para pembaca, kecintaan kaum Syi'ah Rafidhah kepada beberapa Ahlul Bait ternyata lebih bersifat pengkultusan, bahkan menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai sekutu bagi Allah. Wallahul Musta'an!!

Fakta Sikap Tafrith Syi'ah Rafidhah terhadap Ahlul Bait

Diriwayatkan di dalam kitab Rijalul Kasysyi hal.54 karya Al-Kasysyi bahwa firman Allah yang artinya:
"Dialah sejelek-jelek penolong dan sejelek-jelek keluarga." (Al-Hajj:13) turun tentang perihal Al-Abbas (paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).

Adapun tentang saudara sepupu Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abdullah bin Abbas, Al-Qahbani di dalam kitab Majma'ur Rijal 4/143 mengatakan: "Sesungguhnya dia ini telah berkhianat kepada Ali dan telah mengambil harta (shadaqah) dari baitul mal di kota Bashrah."

Di sisi lain ketika hendak menjelekkan para istri Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa malu mereka menukil secara dusta dari Abdullah bin Abbas bahwa ia pernah berkata kepada Aisyah: "Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan Rasulullah ..." (Ikhtiyar Ma'rifatur Rijal karya Ath-Thusi hal.57-60)

Sikap Para Imam Ahlul Bait terhadap Syi'ah Rafidhah

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata: "Tidaklah seseorang mengutamakan aku daripada dua syaikh (Abu Bakar dan Umar) melainkan aku dera dia sebagai pendusta."
Muhammad bin Ali (Al-Baqir) rahimahullah berkata: "Keluarga Fathimah telah bersepakat untuk memuji Abu Bakar dan Umar dengan sebaik-baik pujian."

Ja'far bin Muhammad (Ash-Shadiq) rahimahullah berkata: "Allah 'azza wa jalla membenci siapa saja yang membenci Abu Bakar dan Umar."
Jelaslah, barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait, maka yang ada hanya kedustaan belaka. Lalu Ahlul Bait mana yang mereka ikuti?! Sangat tepatlah ucapan seorang penyair:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَ
Setiap lelaki mengaku kekasih Laila
Namun Laila tidak pernah mengakuinya

Terbunuhnya Al-Husain radhiyallahu 'anhu
tidaklah lepas dari penipuan Syi'ah Rafidhah

Ternyata Syi'ah Rafidhah menyimpan kebencian terhadap Ahlul Bait.

Kebencian itu tidak hanya berupa ucapan atau tulisan belaka.

Bahkan mereka telah membuktikannya dengan perbuatan, yaitu dengan ikut andilnya mereka dalam peristiwa terbunuhnya Al-Husain radhiyallahu 'anhu.

Terlalu panjang untuk mengungkapkan peristiwa menyedihkan itu, namun cukuplah tulisan para ulama mereka sebagai bukti atas kejahatan mereka.

Didalam kitab Al-Irsyad hal.241 karya Al-Mufid diriwayatkan bahwa Al-Husain pernah mengatakan: "Ya Allah jika engkau memanjangkan hidup mereka (Syi'ah Rafidhah) maka porak-porandakanlah barisan mereka, jadikanlah mereka terpecah-belah dan janganlah selama-lamanya engkau ridhai pemimpin-pemimpin mereka. Sesungguhnya mereka mengajak orang untuk membela kami, namun ternyata mereka memusuhi dan membunuh kami."

Didalam kitab Al-Ihtijaj 2/29 karya Abu Manshur Ath-Thibrisi diriwayatkan bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan Zainal Abidin pernah berkata tentang kaum Syi'ah Rafidhah di negeri Irak: "Sesungguhnya mereka menangisi kematian kami padahal siapakah yang membunuh kami, kalau bukan mereka?!"

Masihkah ada keraguan, apakah Syi'ah Rafidhah benar-benar mencintai Ahlul Bait atau hanya sekedar kedok belaka?! Coba silahkan baca dan pahami sekali lagi! Mudah-mudahan Allah 'azza wa jalla memberikan taufiq kepada kita semua.


Hadits-hadits Palsu dan Lemah yang Tersebar di Kalangan Umat

Hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu:
مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ
"Perumpamaan Ahlul Bait-ku seperti kapal Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya pasti dia selamat dan barangsiapa yang enggan untuk menaikinya, maka dia akan tenggelam (binasa)."

Keterangan:
Hadits ini dha'if (lemah) walaupun diriwayatkan dari beberapa sanad (jalan). Beberapa ulama pakar hadits seperti Al-Imam Yahya bin Ma'in, Al-Bukhari, An-Nasaa`i, Ad-Daruquthni, Adz-Dzahabi dan beberapa ulama yang lainnya telah mengkritik beberapa rawi (periwayat) hadits tersebut. (Lihat Silsilah Adh-Dha'ifah no.4503 karya Asy-Syaikh Al-Albani)

Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 30/I/II/1425, Yayasan As-Salafy Jember.
Selengkapnya...

Minggu, 03 Januari 2010

SARANA SYIRIK YANG HARUS DIHINDARI MENURUT MADZHAB SYAFI’I (2)

Seperti dituturkan dalam kitab Hasyiyah as Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasa’i, Imam Baidhawi mengatakan, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani sujud kepada kubur para nabi mereka. Mereka menghadap ke kubur-kubur itu seraya mengagungkannya. Mereka juga menjadikan kubur-kubur sebagai kiblat di mana mereka menghadap dalam shalat, do’a, dan lain-lain. Mereka juga menjadikan kubur-kubur itu sebagai berhala (sesembahan), maka Allah melaknat mereka dan melarang orang-orang Islam melakukan perbuatan seperti itu. Sumber kemusyrikan itu terjadi karena mengagungkan kubur dan selalu menghadap kepadanya.” [27]
Sementara itu Imam as-Suwaidi asy-Syafi’i mengatakan, “Kamu dapat melihat orang-orang meninggikan kuburan sangat tinggi, dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di atasnya. Mereka membuat peti-peti dari kayu jati dan sebagainya untuk kuburan-kuburan itu. Di atasnya mereka kasih kain kelambu yang dihiasi dengan emas dan perak murni.
Mereka tidak puas dengan membangun kuburan seperti itu, dibikinnya jendela-jendela dari perak atau yang lain mengelilingi kuburan, mereka pasang pula lampu-lampu emas. Di atasnya mereka bikin kubah-kubah dari emas atau dari kaca yang diukir. Dibuatnya pintu-pintu yang dihiasi indah. Di pintu-pintu itu dipasang kunci-kunci dari perak atau dari yang lain agar tidak dicuri maling.
Semua itu bertentangan dengan ajaran agama yang dibawa oleh para rasul, dan jelas menentang Allah dan Rasul-Nya. Sekiranya mereka itu mengikuti jejak Rasulullah, seyogianya mereka melihat apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat, padahal mereka itu sebaik-baik sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang itu hendaknya juga melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana para sahabat memperlakukannya.” [28]
Imam Nawawi mengatakan, “Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadikan kuburan beliau dan kubur orang lain sebagai masjid, hal itu hanyalah khawatir terjadi sikap yang berlebih-lebihan dalam mengagungkan kuburan, sehingga akan terjadi hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah (fitnah). Bahkan, bisa jadi hal itu dapat menyebabkan kekafiran, seperti yang pernah terjadi pada umat-umat terdahulu.
Ketika para sahabat g dan para tabi’in memerlukan perluasan pembangunan Masjid Nabawi, di mana umat Islam bertambah banyak, sementara perluasan masjid kemudian menjadikan rumah-rumah para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi berada di dalam masjid, termasuk dengan sendi-sendi rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan dan dua sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka para sahabat dan tabi’in membuat tembok tinggi yang mengitari kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak kelihatan dari masjid. Karena bila tampak, hal itu dapat menyebabkan perbuatan yang dilarang.
Para shahabat dan tabi’in kemudian membuat tembok dari arah dua sudut di sebelah utara, dan dua tembok itu dibuat miring sehingga keduanya bertemu. Dengan demikian orang yang shalat tidak dapat menghadap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [29]
Dalam kitab al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hal. 103, terdapat keterangan sebagai berikut, “Perhatikanlah –semoga kamu dirahmati oleh Allah-, di mana saja kamu mendapatkan sebuah pohon yang selalu dikunjungi oleh orang-orang, mereka memuliakan pohon itu, mengharapkan kebebasan dan kesembuhan dari padanya, mereka juga memasang paku-paku untuk menggantungkan kain-kain sebagai bandulnya, maka tebanglah pohon-pohon itu.”
Kesalahpahaman dan Sanggahannya
Sementara orang yang senang membuat bangunan-bangunan di atas kubur, berpendapat bahwa membangun masjid di atas kubur itu boleh. Dalilnya adalah kisah Ash-habul Kahfi, di mana orang-orang itu membangun masjid di atas kubur Ash-habul Kahfi.
Imam al-Hafizh Ibnu Katsir menjawab kesalahpahaman ini dengan dua jawaban:
1. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, hal itu tidak dapat dijadikan hujjah (dalil).
2. Sekiranya perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Islam, maka mereka itu bukanlah orang-orang terpuji dalam perbuatan tersebut. [30]
Catatan Kaki :
[1] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain,di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menembok kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.
Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain tentang masalah ini, silahkan baca kitab-kitab, al-Muhadzdzab, 1/456; Raudhat ath-Thalibin, 1/652; al-Majmu’, V/266; as-Siraj al-Wahhaj, 1/114; an-Nawawi, Syarh Muslim, VII/307; dan al-‘Iqd ats-Tsamin, hal.186
[2] Untuk mengetahui sikap ulama mdzhab Syafi’i, lihat Raudhat ath-Thalibin, 1/652, Az-Zawajir, 1/195
[3] Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain, lihat al-Muhadzdzab, 1/456, Raudhat ath-Thalibin 1/652, al-Majmu’ V/266, as-Siraj al-Wahhaj I/114, an-Nawawi, Syarh Muslim VII/307.
[4] Berdasarkan hadits riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi dan lain-lain, dari Jabir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penembokan kuburan dan menulis sesuatu di atasnya. Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain dalam masalah ini, lihat al-Umm 1/278, al-Muhadzdzab 1/451, Raudhat ath-Thalibin I/652, al-Majmu’ V/266, as-Siraj al Wahhab I/144, dan al-Iqd ats Tsamin hal.186.
[5] Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allah melaknat kaum wanita yang berziarah kubur, orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan.”
Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain dalam masalah ini, silahkan baca, az-Zawajir I/194, Fath al-Majid hal.186
[6] Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Laknat Allah semoga ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengingatkan akan perbuatan yang mereka lakukan. Hadits ini diriwatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Ingatlah, orang-orang sebelum kamu telah menjadikan kuburan sebagai masjid. Ingat! Kamu jangan menjadikan kuburan sebagai masjid. Saya melarang kamu melakukan hal itu.” Hadits ini diriwatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain.
Untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i dan ulama lain dalam masalah ini, lihat kitab al-Umm 1/278, an-Nawawi, Syarh Muslim VII/38, az-Zawajir I/194.
[7] Berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim dan lain-lain di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda “Jangan kamu duduk di atas kuburan dan jangan kamu shalat di atasnya.” untuk mengetahui sikap Imam Syafi’i yang lain lihat al-Umm I/46, an-Nawawi, Syarh Muslim VII/38, dan az-Zawajir I/194.
[8] Dalil untuk masalah ini, lihat catatan kaki pada nomor-nomor yang telah lalu. Demikian juga sikap ulama madzhab Imam Syafi’i dalam masalah ini, lihat al-Majmu’, VIII/257.
[9] Allah berfirman:
و“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf, mengitari rumah yang tua (Baitullah).” (Al-Hajj : 29)
Orang yang thawaf mengelilingi kuburan, pada hakekatnya ia menyamakan kuburan dengan Baitullah yang dithawafi oleh umat Islam. Untuk mengetetahui sikap ulama Syafi’iyah, lihat al-Majmu’, VIII/257, az-Zawajir I/194, dan Tathhir al-Jinan hal. 37
[10] Berdasarkan riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dari jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah melarang penembokan kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.”
Untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah, lihat an-Nawawi. Syarh Muslim, VII/37
[11] Seperti diketahui, Allah tidak mensyariatkan bagi kita untuk mencium tempat tertentu selain Hajar Aswad. Allah tidak mensyariatkan kepada kita untuk mengusap sesuatu selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Apa yang dilakukan oleh sebagian orang di kuburan, di mana mereka mengusap-usap atau mencium benda-benda tertentu di kuburan , adalah perbuatan yang berlebih-lebihan , dan hal itu dapat menyebabkan syirik dan bid’ah yang berat, karena hal itu berarti menyamakan antara tempat-tempat suci dengan kuburan. Dan itu adalah perbuatan orang-orang sesat, namun mereka mengira mendapatkan petunjuk dari Allah. Untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah tentang masalah ini lihat al-Majmu’, VIII/257.
[12] Dalil-dalil tentang hal ini telah disebutkan dalam catatan kaki yang terdahulu. Sedangkan untuk mengetahui sikap ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, silahkan baca al-Majmu’, V/267.
[13] Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, maka ia telah musyrik.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/101
[14] Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menyanggah orang yang berkata seperti itu “Apakah kamu mau menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah?”
Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/01.
[15] al-Umm, I/246. Tampaknya Imam Syafi’i tidak bermaksud dengan kata-kata “kuburan diratakan” itu diratakan dengan bumi, karena hal ini memang diperintahkan. Namun barangkali maksud beliau adalah menjadikan kuburan itu bertembok datar, atau yang lain di mana kuburan itu terlihat tinggi dari tanah. Wallahu ‘alam
[16] Al-Majmu’, V/266
[17] Ibid
[18] al-Muhadzdzab, I/456
[19] as-Siraj al-Wahhaj, I/114
[20] Shahih Bukhari, VII/747 hadits no.4443 dalam kitab al-Maghazi, bab aradh an-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Shahih Muslim I/377 hadits no. 531 dalam kitab al-Masajid dan tempat-tempat shalat, bab Larangan Membangun di Atas Kuburan.
[21] Shahih Muslim, I/375-376 hadits no. 528 Kitab al-Masajid dan tempat-tempat shalat. Bab tentang Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan.
[22] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam kitabnya al-Musnad, II/266, dari Abu Hurairah, Imam Malik, al-Muwaththa’, I/172 (mursal); Mushannaf Abdur Razzaq, III/464.
[23] az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, I/195
[24] al-Majmu’, VIII/257-258
[25] al-Majmu’, V/266
[26] Seperti disebutkan di dalam kitab, al-‘Iqd ats-Tsamin, hal.186
[27] Hasyiyah Sunan an-Nasa’i, II/42
[28] al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 185
[29] Syarh Shahih Muslim, V/13-14
[30] Tafsir Ibnu Katsir, III/78
Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi'i
Selengkapnya...

SARANA SYIRIK YANG HARUS DIHINDARI MENURUT MADZHAB SYAFI’I

Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais
Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, para ulama madzhad Imam Syafi’i telah mengingatkan tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal yang dapat menyebabkan syirik, agar hal itu dihindari. Imam Syafi’i, misalnya, begitu pula dengan iman-imam lain dalam madzhab Syafi’i, melarang hal-hal yang dapat menjadi wasilah (perantara) syirik, seperti menembok kuburan [1], meninggikannya [2], dan membuat bangunan di atasnya [3]. Demikian pula menulis sesuatu di atas kubur [4], memasang lampu di atasnya [5], dan menjadikan kuburan sebagai masjid [6].
Juga dilarang melakukan shalat dengan menghadap ke kuburan (tanpa dinding pembatas) [7], berdo’a menghadap ke kuburan [8], melakukan thawaf mengelilingi kuburan [9], duduk di atasnya [10], mencium dan mengusapnya dengan tangan [11], memasang tenda dan naungan-naungan apa saja di atasnya [12], dan mengatakan, “Demi Allah dan demi keturunan kamu” [13], atau mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu.” [14]
Imam Syafi’i mengatakan , “Saya tidak menyukai ada masjid dibangun di atas kuburan, kuburan diratakan, atau dipakai untuk shalat di atasnya sedangkan kuburannya tidak diratakan, atau melakukan shalat dengan menghadap kuburan.” [15]
Imam Syafi’i juga berkata, “Dimakruhkan menembok kuburan, menulis nama yang mati (di batu nisan atau yang lainnya) di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat bangunan di atas kuburan.” [16] Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang menyalahkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.” [17]
Imam Syafi’i juga menegaskan, “Saya tidak menyukai ada makhluk yang diagung-agungkan sehingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir terjadi fitnah (pengkultusan) pada dirinya pada saat itu, atau orang-orang yang datang sesudahnya mengkultuskan dirinya.” [18]
Sementara itu, Imam Nawawi mengatakan, “Dimakruhkan menembok kuburan, mendirikan bangunan, dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas tanah kubur yang diwakafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan. [19]
Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang kesembilan puluh tiga, sembilan puluh empat, sembilan puluh lima, sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memasang lampu di atasnya, menjadikan ibarat berhala yang disembah, thawaf mengelilinginya, mengusap-usap dengan tangan, dan shalat menghadap kepadanya….”. Kemudian beliau berkata lagi, “Peringatan! Enam perbuatan itu dimasukkan ke dalam katagori dosa-dosa besar, seperti terdapat dalam pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, hal itu tampak diambil dari hadits-hadits yang telah saya sebutkan.
Tentang menjadikan kuburan sebagai masjid, hal itu sudah jelas, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang-orang yang melakukan hal itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menilai, orang-orang yang melakukan hal itu terhadap kuburan-kuburan orang-orang shaleh dari umat beliau, sebagai makhluk terburuk pada Hari Kiamat nanti. Itu semua merupakan peringatan bagi kita, seperti dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan akan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.” [20]
Maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umatnya dengan hadits itu, agar umatnya tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, dengan demikian beliau akan dilaknat seperti dilaknatnya orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid, maksudnya adalah shalat di atas kuburan atau shalat dengan menghadap kuburan (tanpa dinding pembatas). Maka kata “shalat menghadap kepadanya (ke arah kuburan)” merupakan pengulangan, kecuali apabila yang dimaksud dengan “menjadikan kuburan sebagai masjid” itu adalah “shalat di atasnya” saja.
Memang kesimpulan hukum keharaman itu. Dapat diterima apabila kuburan itu dimuliakan seperti kuburan seorang nabi atau wali, seperti yang disitir dalam riwayat Imam Muslim, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila terdapat orang-orang shaleh…” [21]. Oleh karena itu, para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, “Haram hukumnya, shalat menghadap kubur para nabi dan para wali.” Serupa dengan itu, shalat di atas kuburan, mencari keberkahan, dan mengagungkan kuburan.
Adapun perbuatan itu dimasukkan ke dalam kategori dosa besar yang nyata, hal itu sudah jelas dari hadits-hadits tersebut. Dan dapat dikiaskan dengan hal itu, segala sesuatu yang intinya pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lampu di atasnya dalam rangka mengagungkan kuburan, mencari berkah dari kuburan dan thawaf mengelilingi kuburan dalam rangka mengagungkan atau mencari berkahnya. Dan pengkiasan ini tidaklah jauh, lebih-lebih Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan dalam hadits tersebut, bahwa orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan akan dilaknat oleh Allah.
Adapun menjadikan kuburan sebagai sesembahan (berhala), hal itu dilarang, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Jangan kamu menjadikan kuburku sebagai berhala (sesembahan) yang disembah setelah aku meninggal dunia.” [22]
Maksud hadits ini adalah, jangan kamu mengagungkan kuburku seperti penganut agama lain, mengagungkan sesembahan-sesembahan (berhala-berhala)nya dengan sujud atau yang lain.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami selanjutnya mengatakan, “Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini harus diartikan lain, yaitu haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat itu diterima dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari generasi ke generasi.
Bangunan-bangunan di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih berbahaya daripada masjid dhirar. Membuat bangunan itu merupakan tindakan durhaka (maksiat) kepada Rasulullah, karena beliau melarangnya, dan beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah. Sedangkan lampu-lampu yang dipasang di atas kuburan haruslah dihilangkan, dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu untuk kepentingan tersebut. [23]
Sementara itu Imam Nawawi mengatakan “Tidak boleh melakukan thawaf mengelilingi makam Rasulullah. Tidak boleh pula menempelkan badan (perut dan punggung) pada dinding makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Pendapat ini diucapkan oleh Imam Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa makruh (tidak boleh) hukumnya mengusap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menciuminya. Yang baik sesuai dengan tata krama, adalah berdiri tegak jauh dari kubur Nabi n, seperti halnya orang yang berada di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau masih hidup, berada agak jauh dari beliau.
Ini adalah pendapat yang benar, yang diucapkan oleh para ulama, dan mereka semua berpendapat sama. Dan seseorang hendaknya jangan terkecoh oleh pendapat dan perbuatan sementara orang-orang awam yang berlawanan dengan pendapat para ulama tadi, karena cara untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengamalkan suatu ajaran adalah hanya berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan pendapat para ulama. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka, di mana perbuatan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n, maka hal itu tidak dapat dipertimbangkan.
Sementara orang barangkali terdetik dalam hatinya, bahwa mengusap dengan tangan itu lebih mengena untuk mendapatkan berkah, maka hal itu menunjukkan kebodohan dan kedunguan yang bersangkutan. Sebab berkah itu akan dapat diperoleh hanya dengan perbuatan yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana mungkin kemurahan Allah dapat diperoleh melalui perbuatan yang bertentangan dengan ajaran yang benar?” [24]
Imam al-Baghawi mengatakan, “Makruh hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan, kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya”. [25]
Sementara dalam kitab al-Minhaj dan Syarahnya, karya Imam Ibnu Hajar, terdapat keterangan yang intinya, “Dimakruhkan menembok kuburan dan membuat bangunan di atasnya. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan, karena ada larangan yang shahih terhadap ketiga perbuatan ini, baik tulisan itu berupa nama mayit yang dikubur maupun tulisan yang lain, dan baik tulisan itu di atas papan yang dipasang di atas kepala mayit maupun di tempat yang lain.
Memang, Imam al-Adzra’i pernah membahas tentang diharamkannya menulis ayat-ayat al-Qur’an di atas kuburan. Hal ini karena perbuatan itu dapat melecehkan al-Qur’an, di mana ayat-ayat itu akan diinjak-injak, dan terkena najis oleh nanah orang-orang mati, apabila terjadi pemakaman yang berulang-ulang. Begitu pula bila turun hujan. Imam al-Adzra’i juga mengkaji tentang dianjurkannya menulis nama mayit saja untuk sekedar diketahui sepanjang tahun, terutama kubur para nabi dan orang-orang shalih.
Beliau mengatakan, ‘Sekarang hal itu tidak diamalkan lagi. Karena para imam kaum muslimin dari timur sampai barat ditulis namanya di kubur-kubur mereka. Perbuatan ini diambil oleh orang-orang belakangan dari orang-orang dahulu. Dan hal itu dilarang secara umum dengan adanya larangan membangun diatas kuburan. Membangun di atas kuburan tentunya lebih besar dari sekendar menulis sesuatu di atas kuburan. Dan hal ini banyak terjadi di kuburan-kuburan yang mewakafkan fi sabilillah (musabalah), seperti terdapat, khususnya di Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain. Padahal mereka sudah tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan.
Apabila anda tahu bahwa perbuatan itu sudah merupakan ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama) sehingga hal itu dapat menjadi hujjah (argumen, dalil) sebagaimana mereka katakan, maka kami menjawab, bahwa hal itu dilarang, meskipun banyak dilakukan orang. Sebab perbuatan itu tidak pernah dinyatakan sebagai hujjah, meskipun oleh para ulama yang berpendapat bahwa hal itu dilarang.
Sekiranya perbuatan itu dapat disebut sebagai ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama), maka hal itu dapat menjadi dalil dan dapat dipakai pada saat keadaan zaman itu baik, di mana amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat dikerjakan. Dan ternyata sejak masa yang lama hal itu tidak berjalan.
Apabila ada orang membangun kuburan yang sama dengan yang sudah ada, dan tidak untuk keperluan seperti yang sudah disebutkan di muka, dan itu sudah jelas. Maka seperti apa yang difatwakan oleh sejumlah ulama, bahwa semua bangunan yang ada di tempat yang akan dipakai untuk mengubur mayat di Mesir, sampai kubah Imam kita Syafi’i yang dibangun oleh seorang raja Mesir, harus dihancurkan. Semua orang seharusnya merobohkan bangunan-bangunan seperti itu, selama tidak khawatir akan terjadi mafsadah (hal-hal yang tidak diinginkan).
Apabila khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal itu harus dilaporkan kepada imam (penguasa) agar ia menangani hal tersebut.” [26]
Selengkapnya...