Selasa, 02 Juni 2020

Propaganda Syiah Rafidhah Tentang Isu Penghancuran Pemakaman Baqi

Penghancuran pemakaman baqi adalah sebuah isu yang dilemparkan oleh syiah rafidhah untuk memprovokasi umat Islam terhadap gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sesuai pemahaman para sahabat dan tabiin serta atbauttabiin. Pada hakikatnya propaganda mereka adalah sebuah perlawanan terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atas nama tuduhan wahabi dan gerakan takfiri kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.

Untuk mendudukkan persoalan ini maka perlu dipahami mengenai selayang pandang gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan gerakan dakwah Syiah Rafidhah serta sejarah mengapa terjadi permusuhan antara syiah rafidhah dan gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang digelari sebagai wahabi.

Sekilas mengenai dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah sebuah dakwah salafiyah yaitu dakwah yang menyeru kaum muslimin untuk kembali kepada Islam sesuai dengan manhaj salafus shalih. Di bidang ini dakwah yang digawangi oleh Syaikh Ibnu Abdul Wahab merupakan motor utama bagi gerakan-gerakan perbaikan yang lahir pasca kemunduran dan kemandekan pemikiran di dunia Islam. 

Dakwah ini menyeru kaum muslimin untuk kembali kepada akidah Islam yang shahih (pemurnian) dengan menimbanya dari sumbernya yang jernih. Dakwah ini berupaya membersihkan kemurnian tauhid dari noda-noda syirik yang mengotorinya. Dakwah ini bukan madzhab baru dan bukan manhaj bid’ah, karena ia hanya melanjutkan dan meneruskan dakwah pendahulunya yang telah ada sebelumnya. Dakwah ini adalah dakwah yang berupaya membuka jalan salaf shalih di depan mata kaum muslimin sehingga mereka mengetahuinya dan selanjutnya menitinya.  Dakwah ini adalah kelanjutan dari akidah dan pemahaman agama salaf umat, orang-orang di abad terbaik, dakwah yang menyeru kepada ittiba’ al-Qur`an dan sunnah selaras dengan pemahaman salaf shalih.  Dakwah ini berawal dari Nejed, selanjutnya menyebar ke wilayah sekitarnya dan mencapai masa keemasan bersama pemerintah Kerajaan Saudi Arabiah di dua tanah suci Makkah tahun 1219 H dan Madinah tahun 1220 H. 

Pemikiran-pemikiran dakwah ini menyebar pula kepada kaum muslimin di negeri-negeri muslim dan dakwah ini turut memberi pengaruh yang signifikan terhadap gerakan-gerakan perbaikan di dunia Islam di masa itu baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Karena perkembangan yang begitu pesat dan penerimaan yang sangat massif di berbagai belahan dunia membuat dakwah ini tidak selamat dari kebencian para pembenci dan kedengkian para pendengki, mereka melemparkan cap-cap negatif tetapi palsu dan gelar-gelar menakutkan tetapi dusta manakala mereka merasa bahwa dakwah ini mengancam kelangsungan pemikiran mereka, hal ini dilakukan oleh para pengusung bid’ah dan para pendukung aliran-aliran kesesatan. Hal semacam ini lumrah dalam lahan permusuhan antara kebenaran dengan kebatilan, sekalipun akhirnya kebenaranlah yang akan menang dan menghapus kebatilan. 

Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dalam bermadzhab fiqh sebagai seorang Hanbali, namun dia tidak memegangnya dengan ta'ashub, jika ada dalil yang menurutnya rajih, maka dia mengikuti dalil dan meninggalkan madzhabnya. Hal ini memberi warna kepada dakwahnya, yaitu mengikuti dalil selaras dengan manhaj salaf shalih. 

Sedangkan syiah rafidhah adalah suatu aliran yang menisbatkan diri kepada Islam dan mengklaim bahwa Ali yang berhak atas tampuk khilafah bukan Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka juga disebut dengan Imamiyah karena mereka memandang masalah imamah sebagai masalah paling mendasar dan paling utama. Mereka disebut dengan Itsna ‘Asyariyah karena mereka menetapkan dua belas imam di mana yang terakhir –menurut mereka- masuk ke dalam bungker di rumah bapaknya lalu menghilang dan belum kembali.

Dua belas imam yang mereka tetapkan:

1. Ali bin Abu Thalib, menantu Rasulullah saw, khalifah keempat dalam silsilah Khulafa` Rasyidin, dibunuh oleh seorang Khawarij Abdur Rahman bin Muljam di masjid Kufah tahun 40 H. Mereka memberinya gelar al-Murtadhi.

2. Al-Hasan bin Ali (3 - 50 H) yang bergelar –menurut mereka- al-Mujtaba.

3. Al-Husain bin Ali (4 – 61 H) yang bergelar asy-Syahid.

4. Ali Zainul Abidin bin al-Husain (38 – 95 H) yang bergelar as-Sajjad.

5. Muhammad al-Baqir bin Ali Zainul Abidin (57 – 114 H) yang bergelar al-Baqir.

6. Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir (83 – 147 H) yang bergelar ash-Shadiq.

7. Musa al-Kazhim bin Ja’far ash-Shadiq (128 – 183 H) yang bergelar al-Kazhim.

8. Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim (148 – 203 H) yang bergelar ar-Ridha.

9. Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha (195 – 220 H) yang bergelar at-Taqi.

10. Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad (212 – 254 H) yang bergelar an-Naqi.

11. Al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi (232 – 260 H) yang bergelar az-Zaki.

12. Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan al-Askari (256 - …) yang bergelar al-Hujjah al-Qa`im al-Muntazhar.

Tokoh-tokoh aliran ini

1. . Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi Yaman, berpura-pura masuk Islam lalu mentsanfer apa yang ada dalam agama Yahudi kepada aliran ini, dia berkata kepada Ali, “Engkau adalah engkau.” Maksudnya angkau adalah Allah. Ali hendak membunuhnya akan tetapi dicegah oleh Ibnu Abbas, maka Ali mengusirnya ke Mada`in. Semasa dia dalam Yahudi dia berkata bahwa Yusya’ bin Nun adalah penerima wasiat Musa, dan dalam Islam Ali adalah penerima wasiat Muhammad saw.

2. Al-Kulaini, penulis kitab al-Kafi yang dicetak di Iran tahun 1278 H, kitab ini di kalangan mereka ibarat shahih al-Bukhari di kalangan Ahlus Sunnah, mereka mengaku bahwa di dalamnya terdapat 16199 hadits.

3. Al-Haj Mirza Husain bin Muhammad Taqi an-Nuri, wafat tahun 1320 H. Penulis kitab Fashl al-Khithab fi Itsbat Tahrif Kitab Rabb al-Arbab, yang dicetak di Iran pada tahun 1289 H. Dalam buku ini penulisnya mengklaim bahwa al-Qur`an telah ditambah dan dikurangi, salah satunya menurut mereka dalam surat al-Insyirah terdapat ayat, “Dan Kami menjadikan Ali menantumu.” Sebuah klaim palsu lagi dusta.

4. Ayatollah al-Mamiqani, penulis kitab Tanqih al-Maqal fi Ahwal ar-Rijal, orang ini di kalangan mereka adalah imam al-Jarh wa at-Ta’dil, dalam kitab ini Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab di beri gelar al-Jibt dan Thaghut. Kitab ini dicetak pada tahun 1352 H di kota Najaf.

5. Ayatollah Khomaeni, pemimpin revolosi Iran, menulis kitab Kasyf al-Asrar dan kitab al-Hukumah al-Islamiyah. Di awal revolosi dia meneriakkan syiar Islam akan tetapi setelah itu dia membuka kedoknya dengan pemikiran-pemikiran Syi’ah yang sempit dan fanatik dan dia berusaha mengusung revolusinya ini ke seluruh negeri muslim.

Mengapa bangunan diatas pemakaman Baqi dirobohkan oleh Kerajaan Arab Saudi?

Keadaan yang terjadi sebenarnya bukanlah penghancuran pemakaman sebagaiman yang dituduhkan oleh kaum syiah rafidhah dan kaum sufi melainkan bangunan yang berada diatas pemakaman diratakan dengan tanah oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi dengan pertimbangan dari para ulama sebagai bentuk pengamalan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Dalam Islam membangun kuburan dan meninggikannya hukumnya adalah haram. Ini telah dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, karena dalam perbuatan ini ada unsur pengagungan terhadap ahlul qubur (si mayit). Perbuatan ini juga merupakan wasilah dan perantara yang membawa kepada penyembahan kuburan tersebut. Sehingga nantinya kuburan tersebut menjadi sesembahan selain Allah. Realita ini sudah banyak terjadi pada bangunan-bangunan kuburan yang sudah ada, dan akhirnya orang-orang berbuat syirik terhadap si mayit penghuni kubur tersebut. Mereka jadi berdoa kepada si mayit selain juga berdoa kepada Allah. Berdoa kepada mayit penghuni kuburan dan ber-istighatsah kepadanya untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan adalah bentuk syirik akbar dan pelakunya terancam keluar dari Islam.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari hadits Jabir radhiallahu’anhu, beliau berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dan dibangun”

At Tirmidzi dan ulama hadits yang lain juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang shahih, namun dengan lafadz tambahan:

وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ

“dan (juga dilarang) ditulisi”

Karena hal itu termasuk bentuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga wajib mencegahnya.

Selain itu, menulis kuburan juga beresiko menimbulkan dampak atau konsekuensi berupa sikap ghuluw (berlebihan) dan sikap-sikap lain yang dilarang syar’iat. Yang dibolehkan adalah mengembalikan tanah galian lubang kubur ke tempatnya lalu ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga orang-orang tahu bahwa di situ ada kuburan. Inilah yang sesuai Sunnah dalam masalah kuburan yang dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya radhiallahu’anhum.

Tidak boleh pula menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), tidak boleh pula menaunginya, ataupun membuat kubah di atasnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” (Muttafaqun ‘alaihi)

Juga berdasarkan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya dari sahabat Jundub bin Abdillah Al Bajali radhiallahu’anhu, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika lima hari sebelum hari beliau meninggal, beliau bersabda :

إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil (kekasih)-Nya sebagaimana Ia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seseorang dari umatku sebagai kekasihku, maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi dan orang shalih diantara mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), karena sungguh aku melarang kalian melakukan hal itu”

Ketidaktahuan orang-orang terhadap hadits-hadits ini dimanfaatkan oleh kaum syiah rafidhah untuk memancing di air keruh dalam rangka memanas-manasi umat Islam agar larut dalam perpecahan serta penolakan kepada dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab rahimahullah.


Dalam sebuah makalah yang dipublikasi di situs berita Iran ketika mengangkat isu ini bahkan menjuluki Ibnu Qayyim Al Jauziah sebagai seorang ulama wahabi padahal beliau hidup di tahun 1292–1350 M, sementara Muhammad bin Abdul Wahab hidup di tahun 1703–1792 M, suatu kurun yang sangat berjauhan. Dari sini menunjukkan bahwa isu-isu yang dibangun dan disebarkan oleh syiah rafidhah memang selalu bermuatan politik tendensius, emosional dan penuh dengan kebohongan demi untuk mewujudkan tujuan yaitu penyebaran ideology mereka. Mereka memanfaatkan isu takfiri sebagai bahan untuk memojokkan dakwah kepada akidah yang benar dan pencegahan umat dari kesyirikan, bid’ah dan khurafat.
Mereka menggembosi orang awam dengan menuduh Muhammad bin Abdul Wahab melarang ziarah kubur padahal dalam kitab-kitab beliau tidak ada satupun yang tertulis tentang larangan ziarah kubur kecuali beliau hanya mengingatkan dalam fatwa dan risalah beliau bahwa ziarah kubur itu terlarang jika mengandung unsur kesyirikan. selain itu kaum syiah rafidhah mengalalkan segala cara untuk berdusta dengan mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab menghalalkan darah kaum muslimin untuk di bunuh padahal kalau kita telaah semua risalah beliau tak satu pun yang menyatakan demikian. Memang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab turut berperang ketika melawan orang-orang yang mengancurkan dakwah tauhid yang diusungnya bersama pemerintah kerajaan Dir'iyah ketika itu. Tetapi apakah itu dikatakan sebagai penghalalan darah kaum muslimin?


Namun bukan Syiah Rafidhah kalau tidak pandai menggoreng isu dan memutarbalikkan fakta. Jangankan Muhammad bin Abdul Wahab, sahabat Umar bin Khattab saja bersama Abu Bakr, dan Usman bin Affan Radhiallahu anhum dicaci dan dikafirkan oleh mereka. jadi tidak mengherankan melihat kelakuan mereka seperti itu. Walakin, yang paling baik adalah tidak membaca risalah-risalah ataupun pemikiran yang mereka sebarkan karena tidak lain tidak bukan kecuali syubhat untuk memerangi akidah ahlisunnah waljamaah.

Semoga Allah Subhanahu Ta'ala senantiasa membentengi ummat Islam dari kejahatan syiah rafidhah.
Selengkapnya...