Selasa, 24 November 2009

Serdadu Inggris Keok di Afghanistan

Selalu mengekor ‘bos besarnya’, AS, Inggris kini mulai menelan pil pahit. Keberadaan pasukannya di Afghanistan yang terus menjadi korban perang kian menggusarkan warga negeri Ratu Elizabeth itu.

Dalam sebuah hasil jajak pendapat yang dipublikasikan akhir pekan lalu, (08/11), dukungan rakyat Inggris terhadap perang Afghanistan menurun drastis. Lebih dari 40 persen warga tidak mengerti mengapa tentara mereka berperang di sana. Bahkan 64 persen responden setuju bahwa Inggris tak mungkin menang dalam perang tersebut. Angka ini naik enam persen dibandingkan bulan Juli lalu.

Untuk pertanyaan apakah tentara Inggris sebaiknya ditarik secepat mungkin? Sebanyak 63 persen setuju dan 31 persen tidak setuju. "Secara keseluruhan, ada pengertian bahwa Afghanistan bagi Gordon Brown (Perdana Menteri Inggris) sama dengan Irak bagi Tony Blair (pendahulunya)," kata Andrew Hawkins, Kepala Pelaksana jajak pendapat ComRes, sebagaimana dilansir BBC.

Hasil ini mengisyaratkan bahwa perang Afghanistan berdampak pada dukungan Partai Buruh, karena pendukung partai ini adalah penentang utamanya. ComRes mewawancarai 1.009 orang dewasa berbagai usia dan kelas masyarakat berbeda di seluruh Inggris untuk siaraan televisi BBC, The Politics Show.

Survei serupa yang digelar YouGov menunjukkan 48 persen responden berpendapat bahwa tentara Inggris tidak akan menang dalam perang melawan Taliban. Angka ini naik dari 36 persen dibanding pada Agustus 2007. Sebanyak 36 persen lagi berpendapat bahwa tentara Inggris takkan menang, walau mungkin pada akhirnya akan menang. Angka ini turun tiga poin sejak 2007.

Perang di Afganistan yang dimulai pada 2001, menyusul serangan 11 September di AS, kian mematikan dalam beberapa bulan terakhir. Hingga kini korban di pihak Inggris telah mencapai 231 tentara. Bom rakitan, yang dikenal dengan sebutan IED dan dipasang di jalanan, menjadi pembunuh utama tentara asing di Afganistan.

IED menjadi senjata utama Taliban dalam meningkatkan perlawanannya terhadap lebih dari 100.000 tentara asing di bawah kepemimpinan AS dan NATO di Afghanistan.

Walau ratusan serdadunya menjadi korban perang tak berkesudahan, pemerintah Inggris tidak akan menghentikan misinya di Afghanistan. Perdana Menteri Gordon Brown menegaskan hal ini dua hari sebelum hasil jajak pendapat ComRes dipublikasikan, Jumat (6/11).

Brown juga ngotot akan tetap melanjutkan misi di Afghan. "Karena inilah yang membedakan tentara pembebasan dari tentara pendudukan," ujarnya.

Anggota parlemen dari Partai Buruh dan mantan menteri di Departemen Luar Negeri, Kim Howells, mengatakan tentara Inggris harus ditarik. Namun, pemerintah menganggap misi di Afganistan penting dalam menjamin al-Qaidah tidak meningkatkan kekuatannya.

Sakit Jiwa

Selain korban nyawa, pasukan Inggris yang bertugas di Afghanistan kini juga menghadapi masalah yang serius; kecanduan alkohol dan gangguan kejiwaan. Sebuah studi yang dilakukan oleh ahli kejiwaan setempat menemukan lebih dari 27 persen serdadu Inggris mengalami gangguan mental, dan sekitar lima persennya mengalami tekanan jiwa akibat trauma selama perang.

Amy Inversen, seorang peneliti pada Institut Ilmu Kejiwaan di London, menyatakan dibutuhkan sebuah kebijakan dan perencanaan kesehatan yang tepat bagi tentara, khususnya mereka yang masih aktif.

"Penyalahgunaan alkohol dan gangguan jiwa harus menjadi perhatian utama selama pendidikan. Selain itu, yang juga penting dilakukan adalah pencegahan dan intervensi," ujarnya sebagaimana dilansir Reuters.

Studi yang dipublikasikan dalam Jurnal BioMed Central Psychiatry, menganalisa 821 orang tentara untuk melihat bagaimana mereka mengatasi gangguan mental dan stres pasca trauma. Di antara masalah-masalah tersebut, problem utama yang terjadi adalah penyalahgunaan alkohol (18 persen) dan depresi (13,5 persen). Hasil penelitian itu juga menyebutkan bahwa mereka yang bertugas di Irak memiliki resiko gangguan jiwa lebih tinggi daripada tentara reguler.

Sebuah studi lain yang dipublikasikan Maret lalu menunjukkan, pria Inggris yang desersi dari militer, berpotensi tiga kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri daripada warga biasa. Adapun studi di AS pada 2007 menyebutkan, para veteran militer pria di negara Adidaya ini berpotensi melakukan bunuh diri dua kali lebih besar ketimbang mereka yang tak pernah bertugas di ketentaraan.

Salah seorang pejabat senior militer Inggris menuduh pemerintah telah gagal dalam mengatasi trauma mental yang diderita para tentara setelah berperang di Irak dan Afganistan, di mana jumlahnya mencapai sekitar 170.000 orang sejak diberangkatkan tahun 2001 lalu.

"Dalam persepsi kami, trauma adalah sumber tekanan jiwa masing-masing individu. Namun penyalahgunaan alkohol dan tekanan jiwa kini telah menjadi gejala umum," katanya.

Nampaknya Inggris harus memikirkan kembali keberadaan militernya di Afghanistan, jika tak ingin serdadunya kian banyak yang tewas ataupun gila.

Sabili
Chairul Akhmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar