Sabtu, 26 Desember 2009

ACARA RITUAL SESAT SYIAH RAFIDHAH PADA HARI ASYURA

Memukul Kepala dan Dada
Kaum rafidhah memukul-mukul badan mereka untuk
mendekatkan diri mereka kepada Allah dan mendapatkan pahala di
sisiNya.

Cara Memukul Badan
Dalam setiap peringatan hari besar mereka mereka, yang berbeda
dengan perayaan hari besar kaum muslimin seperti peringatan
terbunuhnya Ali bin Abi Tolib dan peringatan terbunuhnya Husein bin
Ali, kaum rafidhoh melakukan upacara-upacara ritual untuk
mengekspresikan kesedihan mereka terhadap musibah-musibah yang
menimpa ahlul bait, yang kebanyakan cerita2 musibah itu adalah
karangan mereka sendiri. Ritual-ritual ini diadakan di setiap wilayah yang
memiliki penduduk kaum rafidhoh, tetapi terlihat sangat jelas di beberapa
wilayah Pakistan, Iran, India, Irak dan wilayah Nabtiyah di Lebanon.
Dalam merayakan ritual ini pun cara mereka berbeda-beda, di negara
teluk mereka memukul badan mereka dengan tangan kosong karena
masyarakat negara teluk lebih “berbudaya”. Tetapi di Pakistan dan
Lebanon mereka menyabet badan mereka sendiri dengan pedang dan
belati untuk menumpahkan dan melukai anggota badan. Sementara itu
kaum rofidhoh di wilayah lainnya menggunakan rantai untuk memukuli
badan mereka sendiri.
Acara “pukul memukul” itu tak lupa disertai dengan pembacaan
sya’ir-syair kesedihan dan musibah, khotbah duka cita untuk ahlul
bait,mencaci maki bani umayyah dan para sahabat Nabi. Semua itu
dilakukan untuk mendapatkan pahala dan keridhoan Allah ta’ala. Tidak
ketinggalan pula acara tangis bersama sampai berteriak-teriak, karena
mereka mengatakan bahwa para imam mereka memberi kabar gembira:
“Barang siapa menangis atau membuat dirinya menangis untuk Husein maka
wajib masuk sorga.” Semua ingin masuk sorga, maka semua berlomba-
lomba untuk bertambah sedih dan bertambah kencang tangisnya.
Sejarah Ritual “pukul memukul”
Acara ritual ini bermula dari rasa sedih para pengikut Ali bin Abi
Tolib yang telah berjanji untuk berperang membela Ali namun ketka
terjadi perang mereka lari meninggal Ali bin Abi Tolib sendirian hingga
Ali bin Abi Tolib pun bosan dan membenci mereka karena kemunafikan
mereka. Lalu Ali bin Abi Tolib berkhotbah kepada mereka dan menjuluki
mereka dengan sifat-sifat yang jelek seperti pengkhianat, pembohong,
kaum yang hina, orang yang berakal kerdil dll... ”Aku mengajak kalian
untuk berjihad dan kalian menolak, aku telah memberitahu kalian tapi kalian
tidak mau mendengarkan, aku telah berdakwah kepada kalian mengajak kepada
kebenaran tapi kalian tolak dakwahku, aku telah menasehati kalian tapi kalian
enggan untuk menerima...” hingga Ali bin Abi Tolib berkata: “Demi Allah...
aku ingin agar Mu’awiyah menukar pengikutnya dengan pengikutku seperti
menukar uang, maka 10 orang pengikutku akan kutukar dengan 1 orang pengikut
Mu’awiyah."1
Kesedihan pengikut Ali bin Abi Tolib makin bertambah ketika
mereka menulis surat kepada Husein bin Ali bahwa mereka berbaiat
kepada Husein dan berjanji akan menolongnya, tetapi ketika Husein bin
Ali benar-benar datang mereka tinggalkan mati sendirian bersama
keluarganya seperti mereka meninggalkan Muslim bin Aqil mati
sendirian. Maka bertambahlah kesedihan mereka hingga hati kecil mereka
merasa bersalah, lalu mereka mulai menghukum diri mereka sendiri
dengan memukul dada dan menampar pipi mereka. Semua ini sebagai
hukuman atas perbuatan mereka dan sebagai pembalasan kepada diri
mereka atas penghianatan mereka kepada Husein bin Ali, Muslim bin
Aqil dan sebelumnya Ali bin Abi Tolib. Begitulah, semakin besar rasa
bersalah seseorang, maka dia semakin “bersemangat” dalam memukul
dirinya sendiri dan semakin keras pula menangisnya. Demikian ritual ini
berkesinambungan, setiap generasi menghukum diri mereka sendiri atas
kesalahan yang dilakukan oleh generasi yang hidup jauh sebelum mereka,
yaitu pengkhianatan terhadap Allah dan Ahlul bait. Selang berlalunya
waktu, generasi yang datang belakangan tidak pernah memahami sebab
utama ritual ini dan mengira bahwa ritual ini hanya bertujuan untuk
mengungkapkan kesedihan atas kejadian yang menimpa Husein bin Ali
dan ahlul bait seperti yang didengungkan oleh para ulama, dan bukannya
sebagai penyesalan atas pengkhianatan mereka. Sementara itu generasi
belakangan tetap meyakini bahwa ritual ini untuk mencara pahala dengan
rasa cinta kepada Husein bin Ali dan mereka lupa bahwa sebenarnya
ritual ini diadakan sebagai hukuman kepada diri mereka sendiri yang
telah mengkhianati Husein bin Ali. Ini hukuman di dunia, di akherat
Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang lebih berat.
Subhanallah, bagaimana mereka mengubah ritual ini dari hukuman
menjadi ibadah yang berpahala.
Pendapat di atas dikuatkan oleh perkataan Zainab binti Ali yang
ditujukan kepada pengikut Ali (Syi’ah, bukan rafidhoh): “Wahai penduduk
kufah, wahai para pengkhianat, perumpamaan kalian adalah bagaikan seorang
perempuan yang mengurai benang yang sudah dipintal. Kalian hanya
mempunyai kesombongan, kejahatan, kebencian dan kedustaan. Apakah kalian
menangisi saudaraku? Tentu, demi Allah, maka perbanyaklah tangis dan jangan
banyak tertawa, sungguh kalian telah diuji dengan kehinaan... bagaimana kalian
menganggap enteng membunuh menantu nabi terakhir?" 2
Perkembangan Ritual “pukul memukul”
Ibadah ini mulai berkembang dan meluas di awal berkembangnya
syi’ah saat mereka ingin mencari ibadah yang berbeda dengan ibadah
bani umayyah dan supaya memperlihatkan perbedaan antara mereka
dengan kaum muslimin lainnya. Maka mereka selalu berusaha membesar-
besarkan dan menekankan pentingnya ritual ini. Bahkan mereka
membuat pakaian khusus yang dipakai saat upacara yaitu pakaian
berwarna hitam dengan alasan duka cita atas kematian Husein bin Ali
dan ahlul bait.
Pada periode Bani Buwaih yang menguasai iran dan irak atas nama
melindungi Khilafah Abbasiyah, mereka ikut mengembangkan upacara
ini hingga menjadi bagian dari syi’ah yang tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu
datanglah Syah Ismail Safawi yang berkhianat kepada Khilafah
Uthmaniyah mengumumkan hari berkabung nasional yang berlaku di
seluruh wilayah kekuasaannya pada 10 hari pertama bulan muharram.
Bahkan Syah sendiri mengadakan open house untuk menerima ucapan
duka cita dari rakyat dan mengadakan perayaan khusus yang juga
dihadiri oleh Syah Ismail. Juga Syah Abbas Al Safawi memakai pakaian
hitam pada tanggal 10 muharrom dan melumuri dahinya dengan lumpur
serta memimpin pawai di jalan-jalan sambil bersyair dengan syair duka
untuk Husein dan melaknat Bani Umayah.
Peranan Iran Dalam Pengembangan Ritual "pukul memukul"
Sejak berubah menjadi negara islam, Iran menggalakkan warganya
untuk menghidupkan kembali ritual-ritual seperti ini, bahkan ikut
mendanai kaum syiah di mana-mana untuk mengadakan perayaan 10
Muharam besar-besaran. Tapi yang aneh, sebagian syiah tidak memiliki
uang untuk membeli makanan tetapi Iran malah memberikan dana dalam
jumlah besar hanya untuk mengadakan perayaan ritual ini dengan alasan
agama. Sehabis acara perayaan, kita melihat pemandangan cukup
memalukan yang diliput oleh media massa dunia. Darah, gambar orang
memukul diri disiarkan oleh media massa dengan menuliskan bahwa ini
adalah perayaan hari besar kaum muslimin. Hal ini sangat memalukan
kaum muslimin.
Pendapat Dunia Terhadap Ritual Ini
Kantor berita Reuter bagaikan mendapat “harta karun” berharga
ketika wartawannya di wilayah Nabtiah Lebanon merekam gambar
seorang syi’ah sedang memukul kepala anaknya dengan pedang pada
perayaan 10 Muharam. Begitulah, para pengikut aliran sesat selalu
memberikan bukti atas kecaman musuh terhadap Islam. Foto-foto
berdarah perayaan asyura dimuat di media masa dunia, mereka
membahasnya panjang lebar di koran, majalah bahkan channel TV untuk
membahas kebuasan dan sifat haus dan ritual ibadah kaum muslimin
yang jauh dari kemanusiaan.
(1)Nahjul Balaghoh hal 224.
Sumber: www.hakekat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar