Selasa, 23 Februari 2010

Iran Bakal Gantung Pimpinan Gerakan Jundullah Sunni

Seorang mahasiswa Iran seringkali menyangkal fakta pembunuhan aktifis dan orang sunni di Iran. Berikut adalah fakta kekejaman rezim rafidhah di negeri Iran

Pemerintahan Republik Syi'ah Iran pada Selasa (23/2) hari ini menangkap Abdul Malik Riji, Pemimpin Besar Gerakan dan Jama'ah "Jundullah" (Tentara Allah) yang beraliran Sunni atas tuduhan mengepalai serangkaian aksi pengeboman dan pembunuhan.

Kanal televisi Iran Al-Alam mengabarkan, Riji ditangkap di wilayah bagian timur negara Iran bersama dua anggota jamaah lainnya. Hingga berita tersebut disiarkan, belum ada kabar susulan mengenai perkara penangkapan Riji.

Jamaah "Jundullah" sendiri terhitung sebagai jamaah dan gerakan Islam Sunni terbesar di Iran, khususnya di wilayah timur negara Mullah yang berbatasan dengan Afganistan dan Pakistan.

Dalam beberapa kesempatan, jamaah Jundullah sering kali bentrok dengan pasukan penjaga revolusi Iran. Bentrokan tersebut kerap terjadi di sepanjang perbatasan Iran dengan Afganistan dan Pakistan.

Di sisi yang lain, sumber "Jundullah" mengatakan pihaknya sebagai "Gerakan Perlawanan Rakyat Iran" yang berjuang untuk kepentingan Muslim Sunni di negara yang mayoritas Syi'ah itu.

Pertengahan tahun silam, sebanyak 13 tokoh "Jundullah" di Provinsi Zahidan divonis hukuman gantung oleh pemerintahan Iran. Saudara kandung Riji sendiri kini tengah menunggu masa dijatuhkannya hukuman serupa.

Tertangkapnya Riji sebagai pemimpin besar Jundullah bisa dipastikan akan menyeretnya ke pengadilan dan juga vonis hukum gantung, serupa dengan beberapa anggota Jundullah sebelumnya.

Beberapa bulan terakhir, Jundullah sering menembakkan roket dan melakukan serangan terhadap pihak Iran, pasca gagalnya upaya dan opsi dialog antara pihaknya dengan pihak pemerintahan Iran. Selasa, 23/02/2010/eramuslim
Selengkapnya...

Sabtu, 13 Februari 2010

Taliban: Penjaga Terakhir Negeri Afghanistan

Dunia pertama kali menyadari kehadiran Taliban pada tahun 1994, ketika mereka ditunjuk oleh Islamabad untuk melindungi sebuah konvoi yang mencoba membuka rute perdagangan antara Pakistan dan Asia Tengah.

Kelompok yang terdiri dari orang-orang Afganistan yang dilatih di sekolah-sekolah agama di Pakistan bersama dengan mantan pejuang atau mujahidin Islam ini terbukti efektif mengawal, dan mengendalikan kelompok-kelompok lain yang hendak menyerang dan menjarah konvoi tersebut.

Pada awalnya, pejuang Taliba hanya berpusat di Kandahar saja. Namun, seiring dengan diterimanya mereka oleh masyarakat Afghanistan, mereka pun merambah ke ibukota, Kabul, tepatnya pada bulan September 1996.

Antikorupsi

Popularitas Taliban yang menanjak dengan banyak orang Afghan itu awalnya mengejutkan semua faksi yang ada.

Etnis Pashtun, sebagian besar dukungan mereka berasal dari masyarakat Pashtun Afghanistan, kecewa dengan etnis yang ada Tajik dan Uzbek pemimpin. Walau hal ini bukan semata-mata masalah etnis, lebih dikarenakan rakyat Afghan sudah sangat lelah dan muak akan pelanggaran hukum yang berlaku di banyak bagian negara itu. Mereka menyenangi Taliban karena Taliban berhasil memberantas korupsi, memulihkan perdamaian dan perdagangan yang memungkinkan rakyat Afghanistan untuk berkembang lagi.

Taliban terkenal dengan penolakannya untuk berkerjam sama dengan pemerintah dan orang-orang kaya di negerinya. Hal itu membuat mereka semakin dihormati.

Negara Islam

Taliban mengatakan tujuan mereka adalah untuk mendirikan negara Islam, melarang hal-hal yang mubadzir seperti menonton televise dan bioskop dan atau musik. Banyak media Barat yang membesar-besarkan bahwa kebijakan Taliban ini picik dan konservatif, namun seharusnya, dengan segala sejarah yang panjang tentang Islam, keputusan Taliban itu merupakan sebuah pilihan yang harus dihormati. Mengapa media Barat tidak bereaksi terhadap para biksu agama Hindu dan Budha yang mengisolasi diri lebih daripada Taliban?

Usaha Taliban untuk memberantas kejahatan sangat efektif karena mengenalkan hukum Islam termasuk eksekusi publik dan hukum potong tangan. Tentu saja, dalam melaksanakan hikum ini tidak sembarangan dan asal-asalan, karena ada berbagai macam prosedur yang memang telah digariskan dalam Islam sendiri. Sayang, lagi-lagi, dalam hal ini Barat menyorot dan membesar-besarkan secara tidak proporsional. Disebutkan bahwa Taliban melarang anak-anak perempuan pergi kes ekolah, padahal kenyataannya, siapa gerangan yang membuka sekolah-sekolah untuk anak perempuan di Pakistan dan Afghanistan? Tiada lagi tiada bukan, Taliban sendiri.

Memperluas kendali

Taliban sekarang mengendalikan hampir semua wilayah Afghanistan. Di sebelah utara negara itu, adalah benteng terakhir dari komandan etnik Tajik Ahmed Shah Masood.

Dengan 90% negara di bawah kendali mereka, Taliban terus menekan klaim bagi pengakuan internasional akan keberadaan mereka dan hokum Islamnya. Namun sanksi PBB yang kini diberlakukan pada Afghanistan membuatnya semakin tidak mungkin bahwa Taliban akan mendapatkan pengakuan.

Sanksi ini dimaksudkan untuk memaksa Taliban menyerahkan militan kelahiran Saudi Osama bin Laden, yang dituduh oleh Amerika Serikat pada tahun 1998 merencanakan pengeboman kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania, yang menewaskan lebih dari 250 orang.

Afghanistan telah mengalami 20 tahun perang, dan tahun ini telah membawa keburukan terburuk dalam beberapa dasawarsa. Taliban, terlatih sejak zaman negeri mereka diperangi Russia pada tahun 1980-an, dan kini oleh AS dan sekutunya, terus berdiri di atas kaki mereka. “Ini tanah kami. Meski luka dan mati tertanam di sini.” (eramuslim)
Selengkapnya...

Balas Dendam Anak Syah Iran Kepada Rezim Mullah-Ahmadinejad?

eramuslim.com--- Anak mendiang Syah terakhir Iran Reza Muhammad Reza Pahlevi (Ridha Muhammad Rihda al-Bahlawi), tampaknya hendak melakukan balas dendam terhdap kaum Mullah yang pada 1979 silam memimpin gerakan revolusi Islam Iran dan menjungkalkan ayahnya, Muhammad Reza Pahlevi, dari singgasana emperornya.


Dari Paris (11/2), Reza menyerukan dunia internasional untuk memberikan dukungan kepada sayap reformis Iran yang juga oposisi pemerintahan Ahmadinejad yang disokong para Mullah.

Seruan Reza tersebut disampaikan ketika Iran memperingati hari Revolusi Islam Iran yang ke-31, yang juga bersamaan dengan kembali memanasnya suhu konflik Iran-Barat akibat kasus nuklir Iran.

Rezim Mullah di Iran, seru Reza, haru segera diakhiri. Masyarakat internasional diharapkan turut serta "mensukseskan" pengakhiran dan penjatuhan rezim tersebut, sebagaimana yang pernah terjadi atas penjatuhan Uni Sovyet dan rezim Apartheid di Afrika Selatan.

Reza juga menyerukan negara-negara dunia untuk menutup kedutaan besarnya di Tehran, Iran, sebagai bentuk protes atas pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Ahmadinejad terhadap para demonstran minggu silam.

Sejak terjungkal oleh Revolusi Islam Iran 1979 lalu, keluarga Syah Iran Pahlevi kabur ke luar negeri dan hidup dari satu negeri ke negeri lainnya. Syah Muhammad Reza Pahlevi meregang nyawa dan dikuburkan di di Mesir pada tahun 1980. Anaknya sendiri, Reza (49), menetap di Amerika dan Prancis.
Selengkapnya...

Sabtu, 06 Februari 2010

Konsep Ta'wil Syi'ah Bathiniyah & Pengaruhnya terhadap Hermeneutika

DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia (USIM)

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian yang mengkaji seputar Konsep Ta'wil Syi'ah Bathiniyah & Pengaruhnya terhadap Hermeneutika.

Bagian Pertama
Masalah ta’wil adalah masalah penting dalam studi keislaman. Ta’wil merupakan salah satu metode penafsiran teks untuk memahami kandungan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia mendapatkan tempat, posisi dan perhatian khusus para ulama. Oleh karena itu tidak sedikit ulama yang membahas masalah ini.
Bahkan karya-karya mereka banyak diberi judul dengan kata-kata ta’wil, seperti ulama tafsir terkenal imam at-Thabari yang menulis tafsirnya dengan judul “Jaami’ al-Bayaan ‘An Ta’wil Ayaat al-Qur’an”, juga Imam al-Maturidi (pendiri mazhab teoligi Maturidiyah) yang menulis tafsirnya dengan judul “Ta’wiilaat Ahli Sunnah”, serta Imam al-Ghazali dan Imam Ibnu al-Arabi yang memiliki buku yang mempunyai judul yang sama yaitu: “Qanun at-Ta’wil”. Mereka semua ini adalah para ulama klasik.
Pada masa kontemporer sekarang inipun tidak ketinggalan para sarjana-sarjana islam dari berbagai disiplin ilmu keislaman melahirkan karya-karya yang membahas masalah ta’wil, seperti DR. Husain Shaleh yang mengarang buku dalam masalah kebahasaan yang diberi judul “at-Ta’wil al-Lughawi fi al-Qur’an”, dan DR. Muhammad as-Sayyid al-Jalayand yang membahas tentang metodologi ta’wil Imam Ibnu Taimiyah dan mengkomparasikannya dengan pandangan ulama lainnya dalam masalah dan seluk beluk ta’wil dalam bukunya yang berjudul “Imam Ibnu Taimiyah Wa Qadhiyyah at-Ta’wil”.
Saat ini ta’wil sedang digemari dan digandrungi oleh para intelektual Arab dan orientalis, dengan menggunakan berbagai propaganda terminologi baru, yaitu: “Hermeneutika”, yang dibangun atas spekulasi logika, dan diekspos besar-besaran oleh beberapa pemikir islam modernis, seperti: Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abid al-Jabiri, Abdullah al-‘Arawi, Husain Marwah, Muhammad Sa’id al-‘Isymawi, Jabir ‘Ashfur, Ahmad Sa’id Adunis dan lain-lain. Namun, sangat disayangkan mereka menyelewengkan artian, makna dan tujuan daripada ta’wil, sehingga banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan interpretasi agama yang sangat tidak relevan dengan ajaran-ajaran Islam.
Mereka berdalih bahwa proses interprestasi yang dilakukannya hanya semata-mata untuk mengkaji ulang agama, memperbaharui pemikiran agama dan menyegarkan pemahaman. Sebagian mereka berasumsi bahwa al-Qur’an itu diturunkan untuk satu kaum dan generasi tertentu saja yang pada akhirnya memerlukan interpretasi yang baru dan segar.
Mengingat pentingnya masalah ta’wil tersebut, maka artikel ini sengaja ditulis dengan tujuan melacak dan menelusuri pengaruh metode ta’wil Syi’ah Bathiniyah terhadap pemikiran liberal yang akhir-akhir ini semarak di dunia timur tengah atau negara-negara Arab, seperti Mesir, Suria, al-Jazair dan libanon.
Faktor utama yang memotivasi penulis untuk membahas masalah ini adalah melihat adanya fenomena dari kedua gerakan tersebut -Syi’ah Bathiniyah dan Liberal- untuk melakukan penyesatan dan pengrusakan (sabotase) aqidah Islam. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan usaha preventif agar tidak terpukau dengan wacana pemikiran liberal atau sekuler yang akhir-akhir ini menyibukkan umat Islam di dunia Arab dan Islam, khususnya di Indonesia. Di samping itu merupakan peringatan (tazkirah) akan hakikat dan bahayanya ta’wil Bathiniyah yang dipopuleritaskan oleh gerakan sekuler yang dikenal di Indonesia dengan sebutan “islam liberal”, dan di negara Arab dikenal dengan sebutan “al-‘Almaniyah”.
Namun, sebelum penulis mengekspikasikan pembahasan ini lebih jauh, perlu diindikasikan sebelumnya bahwa tulisan ini bukan bertujuan untuk memojokkan gerakan liberal, apalagi memvonis bahwa gerakan sekuler atau liberal adalah pecahan atau kontinuitas dari gerakan Syi’ah Bathiniyah. Sebab hipotesa demikian mustahil dibuktikan kebenarannya. Karena salah satu prinsip dasar ajaran Syi’ah adalah meyakini adanya Imamah, atau dengan kata lain mempercayai dan mengkultuskan seorang imam, pemimpin atau tokoh tertentu dengan sepenuh hati “sam’atan wa tha’atan”, tunduk dan patuh terhadap doktrin-doktrin yang disodorkan atau ditawarkan oleh imam.
Hal ini tidak akan pernah ditemukan sama sekali dalam wacana pemikiran sekuler atau liberal. Bahkan sebaliknya, di mana kaum sekuler sangat anti dengan pengkultusan, apapun bentuk dan rupanya.
Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah
Dan bahkan dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah[1] . Hal tersebut disebabkan oleh karena ajaran-ajaran Syi’ah Bathiniyah sangat kontroversial dan melenceng dari kemurnian ajaran Islam.
Oleh karena itu para ulama dari berbagai kalangan yang disebutkan di atas –golongan Sunni ataupun Syi’ah- sepakat berpendapat bahwa mereka keluar dari Islam alias (kafir). Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui gencarnya studi kritik terhadap filsafat dan aqidah Bathiniyyah[2] .
Untuk sekedar memberikan gambaran umum “General Outlines” mengenai Syi’ah Bathiniyah, dalam etimologi bahasa arab lafadz (batin) adalah lawan kata daripada (zahir)[3] .
Dan (batin) merupakan salah satu nama Allah SWT. yang artinya Allah Maha Tahu tentang segala rahasia. Adapun menurut terminologi, Bathiniyyah adalah salah satu aliran Syi’ah yang dikenal dengan penamaan asal (al-Isma’iliyyah), dan ia merupakan salah satu aliran Syi’ah yang terbesar selain Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Oleh karena itu ulama Syi’ah Zaidiyah sendiri secara jelas mendefinisikan Bathiniyah -sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama Syi’ah Zaidiyah, yaitu: Imam Ahmad bin Sulaiman (wafat 566) dalam buku teologinya yang terkenal (Haqaa,iq al-Ma’rifah fi Ilmi al-Kalam)-: “Bathiniyah dinisbahkan kepada Syi’ah Isma’ilyah.
Mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya kufur. Dan mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin[4].
Senada dengan definisi diatas, Ibnu al-Jauzi mengatakan dalam bukunya yang berjudul (Talbiis Ibliis): “Bathiniyah adalah suatu kaum yang bertopengkan agama Islam, dan berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin. Al-Bathiniyah itu sendiri adalah golongan Syi’ah Isma’ilyah yang penamaannya dinisbahkan kepada imam Muhammad bin Ismail bin Ja’far[5] .
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Bathiniyah adalah Syi’ah Isma’iliyah. Adapun dalam perkembangannya, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah sering kali bertukar dan berganti nama, bergantung kepada tempat dimana ia muncul dan menetap. Seperti di Iraq dan di Bahrain dikenal dengan nama “al-Qaramithah”, di Khurasan dikenal dengan nama “at-Ta’limiyah”, di Mesir dikenal dengan nama “al-Fathimiyah”, di Syam (Suria,Yordan, Lebanon dan Palestina) dikenal dengan dua penamaan yaitu “an-Nushairiyah” dan “ad-Duruz”, dan khusus di Palestina terdapat penamaan lain yaitu “al-Baha,iyah”, di India dengan nama “al-Bahra”, di Yaman dengan nama “al-Yamiah” disamping penamaan aslinya “al-Isma’ilyah”, di daerah-daerah Kurdi dengan nama “al’Alawiyah”, di Turki populer dengan nama “al-Bakdasyiah), dan di negara selain Arab dikenal dengan nama “al-Babiyah”.
Namun mereka sendiri sebenarnya merasa lebih puas dan senang dengan penamaan aslinya, yaitu “al-Isma’iliyah”, sebagaimana yang ditegaskan oleh tokoh ulama mereka yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H) dalam bukunya yang berjudul “Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadhil”. (Bersambung)
Catatan:
[1] Zaidiyah dekat dengan Ahli Sunnah dalam Furu’iyyah mazhab Hanafi, dan masalah ushuliyyah aqidah dekat kepada aqidah Mu’tazilah.
[2] Untuk lebih jelasnya lihat desertasi penulis: “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha. Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon. 2009.
[3] Lihat beberapa kamus: Lisanul Arab, Misbah al-Munir dll.
[4] Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam, Ahmad bin Sulaiman, halaman 500, Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi, Shan’a, Yaman, cet 1/2003. editor: Hasan bi Yahya al-Yusfi.
[5] Talbis Iblis, Halaman 124-125, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Bairut, cet 1/1985. editor: Dr. as-Sayyid al-Jumaili.

Bagian Kedua
Perlu di sebutkan juga bahwa Ibnu Taimiyah tatkala menyebutkan perkataan golongan Bathiniyah secara absolut (mutlak) dalam berbagai kitabnya, seperti “Dar Ta’arud al-Aql wa an-Naql”, “Minhaaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, ia tidak membatasi artian dan penisbahan Bathiniyah kepada Syi’ah Isma’iliyah saja, melainkan meliputi seluruh golongan yang berkeyakinan bahwa syari’at atau teks-teks al-Qur’an itu mengandung makna lahir dan batin, seperti yang diyakini oleh para Ahli Tasawwuf, Filsafat, dan golongn Jahmiyah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa standarisasi Ibnu Taimiyah dalam pemakaian istilah Bathiniyah terlihat pada bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan kepada teori lahir batin, yang dalam perkembangannya gaya penafsiran tersebut didukung penuh oleh pemikir-pemikir sekuler atau liberal[1]. Sebagaimana yang akan penulis uraikan dalam tulisan ini.
Sejauh observasi penulis, ada tiga pengaruh atau kesan metodologi ta’wil Bathiniyah terhadap Hermeneutika yang dipropagandakan oleh kaum sekuler dan liberal, yang daripadanya kita dapat melihat sejauh manakah pengaruh tersebut pada pemikiran liberal dalam memahami, menterjemahkan dan memainkan ajaran-ajaran agama melalui interpretasi mereka terhadap teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Yang pertama: melalui teori lahir batinnya al-Qur’an dan Sunnah. Yang kedua: Ta’wil liar yang tidak sesuai dengan gramatikal bahasa Arab. Yang ketiga: Penyesatan aqidah. Untuk lebih jelasnya mari kita mencoba melihat kebenaran hipotesa ini dalam uraian berikut:
A, Teks al-Qur’an dan Sunnah Mengandung Makna lahir (eksplisit) dan Batin (implisit).
Teori lahir dan batin merupakan asas utama bagi pemahaman aqidah syi’ah Ismal’ilyah Bathiniyah dan Syi’ah Imamiyah. Dengan melalui teori tersebut lahirlah konsep Ta’wil yang tidak beraturan dan tidak dilandasi oleh kaedah apapun. Melihat pentingnya teori tersebut dalam syi’ah Isma’iliyah, Paul E. Walker – Guru besar di Universitas MacGill- dalam bukunya “Hamdi ad-Din al-Kirmani”, mengamati bahwa teori lahir dan batin adalah masalah esensial, oleh karena itu sangat ramai diperbincangkan oleh aliran syi’ah, baik syi’ah Isma’Iiyah[2] ataupun syi’ah Imamiyah.
Dan teori ini selanjutnya dikenal dengan slebutan lain, yaitu: “al-Mutslu wa al-Mamtsul”. Di mana mereka memposisikan lahir itu sebagai “al-Mutslu”, sedangkan batin diposisikan sebagai “al-Mamtsul”. Teori ini digunakan oleh syi’ah Isma’ilyah untuk memahami segala wujud alam langit dan bumi, dan dijadikan sebagai standar interpretasi dalam menegakkan dan membela kepercayaan yang mereka anut dan yakini sepenuhnya. Di samping itu, mereka juga mengistilahkan teori tersebut dengan dua istilah lain, yaitu: “at-Tanzil wa at-Ta’wil”, juga: “al-Ilmu wa al-‘Amal” [3].
Untuk mengetahui lebih jauh implementasi teori lahir dan batin yang diagung-agungkan oleh syi’ah Isma’ilyah, penulis menukil perkataan salah satu filosof syi’ah Isma’ilah yang bernama Abu Mu’ayyan al-Marwazi yang populer dengan sebutan akrabnya “Nashir Khasru” (wafat sekitar 470 H): “Sebagaimana halnya alam dunia ini tersusun dari empat unsur, yaitu: panas, dingin, kering dan lembab, maka alam agamapun demikian, ia tersusun dari empat unsur juga, yaitu: Kitab (al-Qur’an), Syari’at, Ta’wil dan Tauhid” [4].
Dengan landasan perumpamaan (analogy) tersebut, syi’ah Isma’Iiyah berasumsi bahwa syari’at itu mengadung dua makna, yaitu: makna lahir dan makna batin[5].
Di tempat lain, salah satu filosof syi’ah Isma’illiyah moderat yang bernama Ali bin al-Walid (wafat 612 H), yang berasal dari negara Yaman, mendefinisikan hakikat makna lahir dan batin, ia berkata: “Jika penganut aliran syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah mengatakan: Qur’an itu mengandung dua makna, yaitu lahir dan batin, maka maksudnya tidak lain adalah makna lahir itu adalah amalan perbuatan manusia yang sifatnya syari’at (furu’iyah), seperti: mengucapkan dua kalimat syahadat, melakukan ritual shalat, menunaikan zakat, puasa dan haji, serta berjihad.
Adapun makna batin dalam pengertian mazhab kami, maksudnya adalah pengetahuan batin, seperti: mengetahui eksistensi sesuatu, elemen-elemen dan hakikatnya, dan hal ini tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, serta hanya dapat dicapai melalui ilustrasi dan imajinasi jiwa dan akal manusia, contohnya dalam permasalahan tauhid, kenabian, balasan dan siksaan di hari kemudian. Dan hal itu hanya bisa diketahui oleh sebagian manusia, yaitu para imam-imam syi’ah” [6].
Dari penuturan filosof syi’ah Isma’Iiyah diatas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan makna lahir adalah segala bentuk perbuatan dan amalan manusia yang berkaitan dengan furu’iyyyah syari’at (fiqh). Sedangkan makna batin merupakan inti atau esensi agama yang tidak nampak oleh pancaindera manusia. Namun hal itu dapat diketahui, dideteksi dan dicapai oleh para imam-imam mereka saja.
Dalam konteks yang sama, Ja’far bin Mansur (wafat 347 H), yang juga merupakan salah satu ulama syi’ah Isma’liyah, bahkan termasuk tokoh terkemukan syi’ah Isma’ilyah di Yaman, mendefinisikan lebih detil definisi makna lahir dan batin, baginya: “Makna batin adalah hakikat agama Allah yang tercatat dan dimiliki oleh para Waliyullah (imam-imam syi’ah). Sedangkan makna lahir adalah syari’at-syari’at agama dan semisalnya.
Dengan demikian, agama merupakan ruh dan jiwa bagi syari’at. Sedangkan syari’at merupakan jasmani bagi agama. Sebab jasmani tidak dapat hidup tanpa adanya ruh. Dengan sebab keberadaan ruhlah jasmani itu dapat hidup. Begitupun sebaliknya, tanpa adanya jasmani, ruh tidak dapat hidup. Sebab jasmani merupakan tempat hidupnya ruh. Sama halnya dengan lahiriyah syari’at, ia tidak dapat tegak tanpa keberadaan batin, sebab batin itu adalah cahaya dan hakikatnya, dan batin itulah yang menegakkan syari’at [7].
Sebagi catatan, teori lahir dan batin dapat ditemui juga dalam konsep ilmu Tasawwuf. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya konsep tersebut merupakan hasil adopsi dari sy’iah. Secara khusus konsep ini akan ditemukan pada tasawwuf yang bercorak filsafat (at-Tasawwuf al-Falsafiy), yang memiliki beberapa orang tokoh seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dll.
Begitu juga halnya dengan salah seorang ulama terkemuka tasawwuf at-Tustari yang dalam kitab tafsirnya dengan jelas menekankan adanya makna lahir dan batin bagi teks Qur’an, ia berkata: “Makna batin itu merupakan hasil pemahaman seseorang dalam menela’ah isi kandungan al-Qur’an, dan makna batin itulah yang merupakan makna yang sebenarnya (hakiki) [8].
Dengan demikian, teori lahir dan batin merupakan masalah penting dan utama bagi ahli Tasawwuf dalam merumuskan permasalahan ma’rifat [9].
Dari beberapa penjelasan ulama Isma’ilyah di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sangat meyakini adanya makna lahir dan batin bagi teks-teks Qur’an maupun Sunnah, dan bagi mereka makna lahir bukanlah initi dari al-Qur’an, melainkan intinya terletak pada pemaknaan batinnya, dan bagi mereka amalan ibadah syari’at seperti, mengerjakan shalat, puasa, haji dll, adalah makna lahir bagi agama, adapun makna batinnya terselubung dan hanya diketahui oleh para imam-imam mereka yang maksum (terpelihara dari noda dan dosa), alasan mereka, karena imam itu adalah pilihan langsung dari Allah, jadi pengankatan mereka langsung pula dari Allah Swt, oleh karena itu setiap imam memiliki kemampuan dan keilmuan yang memadai terhadap segala seluk beluk agama, baik yang sifatnya lahiriyah atau bathiniyah, dan anehnya mereka berasumsi lebih jauh bahwa alam ghaib bisa diilustrasikan oleh para imam-imam mereka, seperti kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi di alam akhirat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau penganut syi’ah Isma’iliyah meremehkan amalan-amalan syari’at, sehingga mereka mengatakan bahwa pelaksanaan ibadah shalat hanya perlu dilakukan dalam tiga waktu sehari, yaitu, shalat Maghrib, Isya dan Shubuh, bahkan bila perlu ditinggalkan sama sekali, alasan mereka amalan shalat tidak ditentukan waktunya secara detil dalam teks-teks al-Qur’an, melainkan ditentukan oleh Nabi, maka sepeninggal Nabi Muhammad, Imam Syi’alah yang menjadi penerus dan generasinya untuk menentukan perkara-perkara agama, dengan demikian seorang imam boleh saja baginya membuat amalan atau syari’at sendiri atau merevisi ajaran-ajaran yang telah ada sebelumnya, dengan cara menambahkan atau mengurangi amalan-amalan yang telah ditentukan oleh Nabi sebelumnya, hal ini berlaku sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi.
Adapun argumentasi mereka tentang pelaksanaan yang membatasi hanya tiga waktu shalat sehari, asumsi mereka pelaksanaan shalat asalnya lebih sepuluh kali dalam sehari semalam, kemudian berkurang menjadi lima waktu saja, di samping itu mereka berargumentasi dengan teks Qur’an ayat 78, surah al-Isra: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) shalat shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)" [10].
Bila kita kontemplasikan fenomena diatas maka akan jelas ide bahwa segala teks agama mengandung makna lahir dan batin yang disuarakan dan dikonsumsikan oleh gerakan sekuler dan liberal, yang dibawa oleh para pemikir kontemporer di Timur Tengah, adalah sebenarnya ide atau metodelogi Syi’ah Isma’iliyah yang diadopsi dan dikembangkan serta dipopulerkan oleh oleh gerakan sekuler dewasa ini, namun mereka memakai slogan lain dalam membahasakan makna lahir dan batin, kalau Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan istilah “Lahir” dengan lafadz “Makna”, dan “Batin” dengan lafadz “al-Maghza”, sedangkan Ali Harb memakai istilah “al-Magza dan Ma’na al-Ma’na” untuk makna “Batin”, sementara al-‘Isymawi memilih penamaan “Batin” dengan “al-Jauhar”. Adapun Abid al-Jabiri menyebutnya “al-Maqashid”, dan Arkoun membahasakannya lewat istilah “al-Hadaatsha”.
Aneka terminologi di atas kerapkali kita temukan dalam buku yang bercorak sekuler dan liberal, tapi yang terpenting dari sekian banyak terminologi yang diketengahkan oleh para pemikir sekuler tersebut, intinya hanya satu, yaitu melagukan kembali teori (ad-Dzahri wa al-Batin) yang diprakarsai dan diploklamirkan oleh kalangan Syi’ah khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah.
Untuk melihat lebih dekat unsur pemakaian terminologi ini, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash”, ia berpendapat bahwa segala teks agama tidak mampu memberikan makna hakiki, oleh karena itu, tidaklah patut bagi seorang berinteraksi terhadap teks-teks agama melalui makna lahiriyah yang tercantum dan tercatat jelas dalam subuah lafadz, dan sebaik-baik cara untuk berinteraksi dengan teks al-Qur’an adalah mencari makna batin yang terselubung dan tersembunyi dibalik lafadz yang lahir” [11].
Senada pada tempat lain, Ali Harb dalam bukunya “Naqd an-Nash” menegaskan bahwa untuk memahami inti dari suatu lafadz, hendaknya tidak hanya berhenti pada artian lahiriah lafadz tersebut, melainkan harus menelusuri secara mendalam makna batin yang tersembunyi dibalik lafadz tersebut [12].
Dalam konteks yang sama Nasr Hamid Abu Zaid, tidak ketingggalan dalam masalah ini, ia ikut memastikan bahwa esensi teks al-Qur’an itu terletak pada maknanya dan bukan pada lafadznya [13].
Dan hal senada ditegaskan pula oleh Muhammad Sai’id al-‘Isymawi, dengan terang-terangan ia mengatakan dalam bukunya “Hishad al-‘Aql”: “Sesungguhnya al-Qur’an itu turun berdasarkan makna dan tujunannya –bukan berdasarkan pada lafadznya-[14].
Inilah sederetan dari beberapa penuturan-penuturan dan penegasan-penegasan yang bercorak sekuler yang dikonsumsikan oleh para pemikir liberal di Timur Tengah, lalu diadopsi oleh selompok kajian-kajian liberal di Indonesia.
Dengan demikian dalam asumsi pemikiran sekuler dan liberal, hal yang paling utama dalam memahami teks al-Qur’an bukan bergantung pada makna harfiah sebuah lafadz, melainkan makna batin yang terselubung dibalik lafadz tersebut, dan ini merupakan lagu dan ide lama Syi’ah, khususnya Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah yang telah muncul pada tahun 250 Hijriah.
Di sinilah letak kesamaan metode penafsiran antara Syi’ah Bathiniyah dengan gerakan sekuler dan leberal, yang keduanya berasumsi bahwa lahiriah sautu teks agama tidak dapat dijadikan patokan pemahaman, sebab ia tidak boleh memberikan suatu makna hakiki.(Bersambung)
Catatan :
[1] Seandainya Ibnu Taimiyah masih hidup sekarang maka golongan sekuler atau liberal akan ia juluki “Bathiniyah”.
[2] Al-Fikr al-Isma’ily fi al-‘Ashr al-Haakim bin Amrillah, halaman 108, Dar al-Madaa li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, Dimsyiq, Suriah, cet 1/1980, Terjemah: Saifuddin al-Qashir, Judul asli: “Hamd ad-Din al-Kirmani”.
[3] Lihat desesrtasi penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqdiah al-Isma’ilyah wa Falsafatuha, halaman 89 – 100, Darul Kutub al-Ilmiah, Bairut, Lebanon, 2009.
[4] Zaadul Musaafirin, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal: 180. ad-Diwan, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal:238, dikutip dari Muqaddimah Jaami’ al-Hikmatain, Abu Mu’ayyan al-Marwazi, hal: 56, dar at-Tsaqafah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, Kairo, Mesir, 1974, Taqdim: wa Tarjamah dari bahasa Persia: DR. Ibrahim ad-Dasuqi Syata, dan lihat: Kitab Syajarah al-Yaqin, ad-Daa’I Abdan al-Qirmithi, hal: 38, 39, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut, Lebanon, cet 1/1982, editor: DR. Arfi Tamir.
[5] Lihat kitab al-Majalis al-Musayarat, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, hal: 86, Dar al-Muntadhar, Bairut, Lebanono, cet 1/1996, editor: al-Habib al-Faqi, Ibrahim Syabbuh, Muhammad al-‘Alawi. Kitab Asas at-Ta’wil, al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, hal: 28, Dar al-Ma’arif, Kairo, Mesir, cet 1 tanpa tahun terbit, editor: DR. Arif Tamir. Ar-Risalah al-Muzdhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, hal: 129, Dar al-Masiirah, Baerut, Lebanon, cet 1/1988, editor: DR. Arif Tamir.
[6] Daamighul Bathil wa Hatfu al-Munadil, ad-Da’I Ali bin al-Walid, jilid 1, hal: 1, Muassasah ‘Izzuddin, Bairut, Lebanon, 1982, editor: DR. Musthafa Gaalib.
[7] Al-‘Alim wa al-Ghulam, ad-Da’I Ja’far bin Mansur, hal: 12, al-Muassasah al-Jami’iyah, li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, Bairut, Lebanon, cet 2/1987, editor: DR. Musthafa Ghalib.
[8] Lihat tafsir at-Tustari, hal: 82.
[9] Lihat: Min Qadhayaa at- Tasawwuf, DR. Muhammad al-Jalayand, hal: 137-142.
[10] Kitab Sulaymaniah, Faiz ad-Dhman al-Bathini, hal: 51.
[11] Lihat: Naqd an-Nash, Ali Harb, hal: 15, al-Markaz at-Tsaqafiy al-‘Arabi, cet 1/1993.
[12] Lihat: Naqd an-Nash, Ali Harb, hal: 24.
[13] Lihat: al-Imam as-Syafi’I wa Ta’sis al-Idulujiyahah al-Wasathiyah, hal: 20 Dar Sinaa, Kairo, cet 2/1992.
[14] Hishad al-‘Aql, al-‘Isymawi,

Bagian Ketiga
B. Penggunaan Ta’wil Bebas, Liar dan Spekulatif (Interpretation Uncontrolled).
Bila diamati secara seksama, Syi’ah Isma’ilyah Bathiniyah menciptakan gagasan teori lahir dan batin atau dalam istilah mereka “al-Muthl wa al-Mamthul”, tujuannya adalah untuk mengimpretasi teks-teks agama, syariat, baik Qur’an ataupun Sunnah, karena dalam mazhab mereka ta’wil merupakan pilar, asas dan landasan utama dalam proses pengukuhan sebuah aqidah dan penegakan ideologi, atas dasar tersebut yang membadakan Syi’ah Isma’iliyah dengan mazhab-mazhab lain.
Di mana mereka dengan penuh keberanian menta’wilkan seluruh teks-teks agama tanpa terkecuali, dengan landasan teori lahir dan batin, dan sebebarnya mereka lakukan demikian tak lain dan karena mereka tidak menemukan solusi yang tepat untuk mendukung ideologi mereka, oleh karena itu mereka sengaja menginterpretasikan seluruh teks-teks agama baik Qur’an ataupun Sunnah.
Salah satu tokoh Syi’ah Imamiyah yang bernama Syekh Ja’far Subhani, dalam bukunya “Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal”, ia menegaskan tentang peranan dan urgensi ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, dengan mengatakan: “Sesungguhnya masalah penta’wilan secara lahiriyah dari suatu teks-teks syari’at, adalah merupakan landasan utama dalam ideologi Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, sebab ta’wil merupakan asas dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah, sehingga bila ta’wil ditiadakan dalam aliran tersebut dan hanya berhenti pada pengertian lahiriyah suatu teks, maka aliran Syi’ah Isma’iliyah tidak berbeda dengan aliran-aliran lainnya, oleh karena itu mereka mengimplementasikan ta’wil dalam seluruh permasalahan aqidah ataupun syari’at, terlebih lagi dalam penafsiran Imamah” [1].
Namun hemat penulis, syekh Ja’far Subhani sebagai tokoh Syi’ah Imamiyah memaparkan bahwa Syi’ah Isma’iliyah tak dapat dipisahkan dari ta’wil, sebenarnya Syi’ah Imamiyah pun demikian, dalam artian ta’wil dalam aliran Syi’ah Imamiyah mendapatkan tempat yang tinggi juga, sebab merekapun menggunakan ta’wil bebas dan liar. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca buku penulis :"Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma'iliyah wa Falsafatuha, Darul Kutub Ilmiyah, Bairut, Lebanon, 2009".
Sebagi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ta’wil dalam perspektif Syi’ah Bathiniyah? Untuk menjawab, penulis menuqil definisi salah satu tokoh kontemporer Syi’ah Isma’iliyah DR. Arif Tamir, ia mengatakan: “Ta’wil adalah makna batin dari suatu lafadz, atau dimaksudkan juga sebagi symbol dan esense, di mana hikikat makna suatu lafadz terdapat dalam kandungan lafadz itu sendiri, dan lafadz itu tidak mampu untuk menunjukkan suatu hakikat dan kebenaran” [2].
Dari definisi di atas dapat digaris bawahi bahwa kaedah ta’wil dalam aliran Syi’ah Isma’iliyah adalah merupakan penerapan dari teori lahir dan batin yang telah kita ketengahkan sebelumnya, sebab menurut asumsi mereka makna lahir tidak dapat memberikan suatu makna yang hakiki atau kebenaran, oleh karena itu dalam memahami sebuah teks-teks agama, seseorang tidak akan mampun memahaminya bila hanya bergantung kepada lahiriyah teks tersebut, melainkan harus menelusuri lebih jauh dan mendalam makna-makan batin yang terkandung dalam setiap lafadz.
Motif inilah yang membuat ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sangat menekankan pentingnya ta’wil dalam mengartikan permasalahan-permasalahan agama, sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi’ah Isma’iliyah Abu Ya’qub as-Sijistani (wafat 353 H): “Barang siapa yang tidak mengerti ilmu ta’wil serta memahaminya secara mendalam, maka ia akan membohongi dan mendustakan al-Qur’an” [3].
Di lain tempat filsof Isma’iliyah Bathiniyah Abu Mu’ayyan al-Marwazi alias Nasir Khasru berkata: “Ta’wil adalah sebuah kebenaran yang hakiki” [4]. Senada dengan diatas Ya’qub bin Killis, menegaskan lebih jauh bahwa: “Sesungguhnya al-Qur’an itu tidak akan jelas maksud dan tujuannya kecuali dengan diiringi dengan ta’wil” [5].
Namun perlu diperhatikan disini, sebenarnya masalah ta’wil bukanlah sautu hal yang diperselisihkan eksistensinya dalam kajian agama, bahkan mayoritas ulama dari berbagai aliran teologi dan pemikiran Islam, khususnya aliran Asy’ariah, Maturidiyah, Mu’tazilah dan Syi’a Zaidiyah, mereka sangat memberikan perhatian dan menganggap ta’wil itu penting, oleh karena itu mereka sepakat membolehkan ta’wil dalam berinteraksi dengan teks-teks Qur’an.
Namun ada batasan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipegangi bagi siapa saja yang ingin menta’wil teks Qur’an ataupun Sunnah, di mana bagi mereka penggunaan ta’wil hanya kepada ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat), dan tidak dibenarkan dalam ayat-ayat yang jelas (Muhkamaat), dan tidak semua ayat-ayat mutasyabihat boleh dita’wilkan atau diinterpretasikan.
Sebagaimana yang dinyatakan dan ditegaskan oleh pakar tafsir dari Andalus Imam Qurthubi, di mana beliau membagi ayat-ayat Mutasyabihat kepada dua kategori, yaitu:
Pertama, permasalahan-permaslahan yang kandungannya sama sekali tidak dapat diketahui hakikatnya, seperti: fakta-fakta hari kiamat.
Kedua, perihal yang dapat diketahui oleh orang-orang berilmu saja “ar-Rasikhuna fi al-‘Ilmi”, seperti permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt.
Dalam pandangan Imam Qurthubi kategori pertama di atas, sama sekali tidak dapat diinterpretasikan oleh seseiapapun, sebab berkaitan dengan rahasia alam ghaib, adapun yang kategori kedua, boleh dibantu memahaminya dengan ta’wil, asalkan melalui proses penta’wilan yang betul dan diinterpretasikan oleh ulama yang tahu seluk beluk gramatikal bahasa Arab dan ilmu agama lainnya” [6]. Untuk lebih jelasnya silakan membaca buku penulis: "Masaail al-I'tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, Muassasah al-'Alya, Kairo, Mesir, 2006".
Di tempat lain Imam Syatibi menggariskan kebolehan penggunaan ta’wil dengan dua persyaratan, yaitu:
Pertama, lafadz yang akan dita’wilkan hendaknya seseuai dengan makna lahiriyah bahasa Arab, atau sesuai dengan arti kata lain yang dipilih dan dikenal dalam bahasa Arab.
Kedua, makna yang dipilih hendaknya sesuai dengan kebenaran (kenyataan), dengan jalan menyesuaikan dan menelusuri teks-teks ayat di tempat lain.
Dengan memenuhi kedua syarat di atas, maka akan Nampak jelas kebenaran makna batin suatu lafadz dengan menggunakan ta’wil, dan hal ini berbeda dengan cara penta’wilan di kalangan Bathiniyah, di mana mereka hanya mengandalkan ilmu batin dan sama sekali tidak melihat segi gramatikal bahasa Arab” [7].
Di sinilah kekeliruan dan kesalahan penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah, dan diikuti oleh kalangan sekuler dan liberal di Timur Tengah, melalui istilah “Hermeneutika”, di mana penta’wilan mereka tidak didasari dan dilandasi dengan gramatikal bahasa Arab, di samping itu mereka tidak membedakan antara ayat-ayat yang abstrak (Mutasyabihat) dan ayat-ayat yang jelas (Muhkamat), bagi mereka ayat Mutasyabihat dan ayat Muhkamat sama saja dan mesti dita’wilkan, atas asumsi demikian, mereka menta’wilkan seluruh ayat-ayat Qur’an secara batin, tanpa melihat latar belakang posisi ayat tersebut, dan hal ini terjadi karena tidak adanya standarisasi ta’wil dalam mazhab mereka.
Konsekwensi dari penta’wilan Syi’ah Isma’iliyah berdampak besar pada beberapa permasalahan syari’at, sebagi contoh:
• Mereka berasumsi bahwa shalat menurut makna batinnnya adalah mengakui para wali-wali, wali Allah yang dimaksud adalah para Imam-Imam mereka, oleh karena itu ketaatan dan kepatuhan kepada Imam hukumnya wajib.
• Ibadah puasa bagi persepsi mereka bukanlah bermaknakan menahan diri dari lapar dan dahaga, melainkan maknanya adalah menyembunyikan segala rahasia Syi’ah Isma’iliyah terhadap orang di luar mazhab Syi’ah Isma’iliyah.
• Begitu halnya dengan Ka’bah baitullah al-Haram, mereka ta’wilkan dengan senganya mengalihkan maknanya kepada Imam-Imam yang harus ditaati dan dipatuhi segala perintah dan larangannya, sebab Imam itu adalah hakakat daripada Ka’bah Baitullah al-Haram [8].
• Dalam surah an-Nur ayat: 36, yang dimaksud dengan perkataan “al-Masajid” menurut persepsi mereka adalah para Imam-Imam Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan para Nabi [9].
• Perkataan “Wa ‘Amiluu as-Shalihat” dalam surah al-Kahfi, ayat 107, bagi mereka adalah mentaati kepmemimpinan imam, sebab keyakinan mereka tidaklah diterima amal ibadah seseorang, baik yang bersifat fardhu atau sunnah, kecuali bila mereka sudah mentaati para imam mereka yang suci dari noda dan dosa (Ma’sum) [10].
Perlu diperhatikan bahwa proses interpretasi ayat-ayat Qur’an dan Sunnah dalam aliran Syi’ah Isma’Iiyah Bathiniyah, secara general sebenarnya bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh kedudukan para Imam-Imam mereka, sehingga mereka berasumsi bahwa persoalan ta’wil adalah salah satu mu’jizat para Imam, dan Imam al-Muntadzar sebagi pucuk pedang segala interpretasi (ta’wil) [11].
Dari beberapa contoh pena’wilan yang dilakukan oleh Syi’ah Isma’iliyah di atas, jelas mereka melakukannya secara liar dan bebas, yang dibangun tidak berdasarkan kepada kode etik ta’wil yang semestinya berpedoman kepada gramatikal bahasa Arab, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh filsuf Islam Ibnu Rusyd [12].
Fenomena ta’wil Syi’ah Isma’iliyah dapat dijumpai dalam wacana pemikiran sekuler dan liberal di kalangan intelektual di Timur Tengah, di mana ta’wil bagi mereka adalah satu-satunya jalan untuk memahami agama secara benar dan pasti, sebab ta’wil itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil produk bangsa Arab, yang bertujuan untuk mencapai sebuah kebenaran, hal ini dikatakan oleh pemikir liberal Ali Harb dalam bukunya yang berjudul: “at-Ta’wil wa al-Hakikah” [13].
Hal yang senada Hasan Hanafi berpendapat bahwa penggunaan ta’wil sangat penting ketika ingin memahami suatu teks agama, karena tidak satupun teks yang tidak dapat dita’wilkan, bahkan teks-teks agama yang sudah jelas maknanya (Muhkamat) tentu ada solusi pena’wilannya [14].
Tentunya pernyataan ini sama persis dengan pernyataan yang telah diagung-agungkan oleh Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah sebelumnya. Bahkan terdapat persepsi yang lebih berani yang datang dari salah satu pemikir liberal yang bernama Tayyib Tizni, ia terang-terangan menafikan adanya ayat-ayat Muhkamat yang jelas dan tidak ada kesamaran di dalamnya, oleh karena itu tidak aneh kalau para kaum liberal berasumsi bahwa isi Qur’an semuanya Mutasyabihat [15].
Nasr Hamid abu Zaid berargumentasi lebih jauh tentang peranan dan keutamaan ta’wil dalam memahami teks agama, hal ini dapat dilihat ketika ia mencoba untuk mengkomparasikan antara pemakaian tafsir dan ta’wil, dengan mempersoalkan yang mana lebih utama, tepat dan benar dari keduanya ketika ingin berinteraksi dengan teks-teks agama (al-Qur’an dan Sunnah), ternyata menurutnya cara yang paling tepat untuk memahami teks secara dalam adalah melalui proses ta’wil, dengan alas an diantaranya lafadz “tafsir” hanya disebut satu kali dalam al-Qur’an, sedangkan lafadz “ta’wil” disebutkan sebanyak tujuh belas kali, dan ini membuktikan kelayakan ta’wil daripada tafsir16.
Di samping itu, para pemikir liberal yang diketuai oleh Nasr Hamid Abu Zaid menamakan ta’wil dengan istilah “Hermeneutika” 17 yang dipinjam dari luar Islam dan tidak ada kaitannya dengan istilah agama dan wacana keislaman, sebab hermeneutika itu sendiri adalah kosa kata filsafat barat, yang juga erat hubungannya dengan interpretasi Bible.
Hermeneutika muncul di dalam konteks peradaban Barat, di mana konsepnya didominasi oleh ilmu yang skeptic, oleh karena itu konsep yang mereka tawarkan kepada pembaca bersifat makna dan kandungan konsep hermeneutika selalu dalam perubahan, pergeseran dan perbedaan, bahkan mengalami kontradiktif antara satu teori hermeneutika dengan teori-teori hermeneutika lainnya, dalam sejarah tercatat bahw yang mempolopori hermeneutika itu adalah seorang filosof yang beragama Protestan berkembangsaan Jerman beranama: Friedrich Schleiermacher (1268-1834), baginya peranan hermeneutika adalah untuk memahami teks sebaik atau lebih baik dari pada pengarang buku [18].
Ide dan gaya serta konsep memahami teks seperti ini sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat meragukan teks-teks Qur’an, dan akan menghapus kebenaran isi dan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab kebenaran teks agama baik Qur’an ataupun Sunnah adalah kebenaran mutlaq, dengan demikian tidak patut hermeneutika dipakai dalam memahami teks-teks agama, melainkan yang layak adalah memakai konsep Islami yaitu “Ta’wil”.
Untuk mengetahui sejarah penggunaan terminologi Hermeneutika di Timur Tengah, silahkan membaca buku sahabat kami asal Syiriah Damaskus, DR. Ahmad Idris at-Tha'an: "al-'Almaniyyun wa al-Qur'an al-Karim", Darul Ibni Hazam, Riyadh, Saudi Arabiah, 2007, asal buku adalah desertasi Darul Ulum jurusan Filsafat Islam, Universitas Kairo, th 2003, judul aslinya: al-Fikru al-'Arabiy al-Almani wa Mauqifuhu min An-Nash al-Qur'an". Jumlah halaman: +800. Dan hal yang menarik perhatian dari desertasi tersebut, dewan pengujinya terdiri dari DR. Muhammad Imarah dan DR. Hasan Hanafi, sehingga persidangan desertasi berubah menjadi perdebatan ilmiah yang sengit antara dewan penguji, dan dipandu oleh dosen pembimbing desertasi, DR. Sayyid Rizq al-Hajar.
Yang fatal dari pada teori hermeneutika adalah teori tersebut dilandaskan kepada faham relatifisme, hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Jean Grisch bahwa: “Sama sekali tidak dapat ditemukan ta’wil yang mengandung kebenaran, melainkan ta’wil itu beraneka ragam”. Sementara Qur’an sebagai kitab suci sifatnya mutlak dan tidak relatif.
Bila kita cermati, kajian-kajian hermeneutika sebenarnya disisipkan secara halus dalam kajian-kajian al-Qur’an, melalui terminology-terminologi, seperti: al-Qira’ah, al-Muqarabah, at-Ta’wil al-Haditsah, at-Ta’wil al-Mu’ashir dan berbagai macam terminology lain yang sebenarnya bertujuan menyesatkan bukan mencari kebenaran.
Bahwkan para pemikir liberal di Timur Tengah kerap kali mengesksploitasi terminologi “Ta’wil” yang merupakan terminologIi Islam, sebagai cara atau pancingan untuk mengakui teori Hermeneutika, dengan melalui propaganda, seperti slogan pembaharuan, menela’ah kembali teks-teks agama, dengan penampilan baru, modern dan kontemporer serta bersifat pencerahan (Enlightenment).
Konsekweinsinya, teks-teks Qur’an dan Hadits yang telah tetap dan kokoh pada ayat (Muhkamat), mereka jadikan sebagai sejarah (historical) yang bias diperbaharui dan dirubah kapanpun dan di manapun sesuai dengan kehendak dan keinginan serta cita rasa individu masing-masing, oleh karena itu Muhammad Arkon, salah satu pemikir liberal asal Jazair dalam hal ini sangat menyangkan para ulama tafsir yang enggan memakai penafsiran symbolik (at-Ta’wil ar-Ramzi) yang dipakai oleh para ulama Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah dan ulama Tasawwuf [19].
Dengan demikian dapat secara jelas dan nyata, betapa pentingnya peranan ta’wil dalam kajian pemikiran Syi’ah Isma’iliyah dan Liberal, sebab bagi mereka ta’wil adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui esense dan kebenaran ajaran agama. (Bersambung)
Catatan :
[1] Lihat: Buhuts fi al-Milal wa an-Nihal, 8/261, dinuqil dari www.rafed.net.
[2] Muqaddimah Asas at-Ta’wil, hal:7, Darul Ma’arif, Kairo, cet 1/tanpa tahun.
[3] Kitab al-Ifthkhar, hal: 99, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Mustafa Ghalib.
[4] Jami’ al-Hikmatain, hal:241, Darul Thaqafah, Kairo-Mesir, 1974. diterjemahkan dari bahasa Persia oleh: DR. Ibrahim ad-Dasuqi.
[5] Ar-Risalah al-Mudzhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, Darul Masirah, Bairut-Lebanon, cet 1/1988, editor: DR. Arif Tamir.
[6] Lihat: Masail al-I’tiqad Inda al-Imam al-Qurthubi, DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, hal:74, Muassasah al-‘Alya, Kairo-Mesir, cet 1/2006.
[7] Lihat: al-Muwafaqat, 3/294.
[8] Lihat: al-Iftikhar, hal:116, 126, 128, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, editor: DR. Mysthafa Ghalib. Al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal: 98, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, cet 1/1984, editor: DR. Musthafa Ghalib.
[9] Lihat: al-Kasyf, Ja’far bin Mansur al-Yaman, hal 63.
[10] Lihat: Kanzul Walad, Ibrahim al-Hamidi, hal: 28, Darul Andalus, Bairut-Lebanon, tanpa tahun cetak, editor: DR. Musthafa Ghalib.
[11] Lihat: ar-Risalah al-Mudzhibah, al-Wazir Ya’qub bin Killis, hal: 29, Darul Masirah, Bairut-Lebanon, cet 1/1998, editor: DR. Arif Tamir.
[12] Lihat:Fashlul Maqaal, Ibnu Rusyd, hal:33, Darul Ma’arif, Kairo, cet 2, tanpa tahun, editor: DR. Muhammad Imarah.
[13] Lihat: at-Ta’wil wa al-Hakikat, Ali Harb, hal: 14, Darul Tanwir, Bairut-Lebanon, cet 2/1995.
[14] Lihat: Min al-Aqidah Ila at-Tsaurah, 1/398, Maktabah Madbuli, Kairo, tanpa tahun. Dirasat Islamiyah, hal:346, Darul Tanwir, Bairut-Lebanon, cet 1/1982.
[15] Lihat: Khalid as-Saiidani, an-Nash al-Qur’an Amama Isykaliyah al-Binyah wa al-Qira’ah, hal: 261.
[16] Lihat: Mafhum an-Nash, hal:256, al-Hai’ah al-Mishriayah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 1993.
[17] Universitas Amerika di Kairo menubuhkan majalah sekuler dengan penamaan “al-Hermeneutiqa wa at-Ta’wil”, di antara penulisnya adalah tokoh-tokoh liberal terkenal, seperti: DR. Hasan Hanafi, DR. Nasr Hamid Abu Zaid.
[18] Lihat: F. Schleiddrmacher, Hermeneutique, labor et fides. 1987. p:77. P. Ricoeur: le conflit des interpretation. Ed. Seuil 1969. p: 10. Min an-Nash Ila al-Fi’li, Paul Ricoeur hal: 63, 111, terjemahan: Muhammad Baraadah. ‘Ain li ad-Dirasah wa al-Buhuts al-Insaniyah wa al-Ijtima’iyah, cet 1/2001. al-Balaghah wa as-Si’riyyah wa al-Hermeneutiqa, Paul Ricouer, hal: 113, Majalah al-Fikr wa an-Naqd, Marocco, Februari 1999, seri 16, Nadzariyah at-Ta’wil, DR. Musthafa Nasif, hal: 33, 61, 89, an-Naadi al-Adabi at-Tsaqafi, Jeddah, Saudi Arabiah, cet 1/2000.
[19] Lihat: Min al-Ijtihad Ila Naqd al-‘Aql al-Islami, Arkoun, hal: 80.
Selengkapnya...