Minggu, 03 Januari 2010

SARANA SYIRIK YANG HARUS DIHINDARI MENURUT MADZHAB SYAFI’I

Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais
Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, para ulama madzhad Imam Syafi’i telah mengingatkan tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal yang dapat menyebabkan syirik, agar hal itu dihindari. Imam Syafi’i, misalnya, begitu pula dengan iman-imam lain dalam madzhab Syafi’i, melarang hal-hal yang dapat menjadi wasilah (perantara) syirik, seperti menembok kuburan [1], meninggikannya [2], dan membuat bangunan di atasnya [3]. Demikian pula menulis sesuatu di atas kubur [4], memasang lampu di atasnya [5], dan menjadikan kuburan sebagai masjid [6].
Juga dilarang melakukan shalat dengan menghadap ke kuburan (tanpa dinding pembatas) [7], berdo’a menghadap ke kuburan [8], melakukan thawaf mengelilingi kuburan [9], duduk di atasnya [10], mencium dan mengusapnya dengan tangan [11], memasang tenda dan naungan-naungan apa saja di atasnya [12], dan mengatakan, “Demi Allah dan demi keturunan kamu” [13], atau mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu.” [14]
Imam Syafi’i mengatakan , “Saya tidak menyukai ada masjid dibangun di atas kuburan, kuburan diratakan, atau dipakai untuk shalat di atasnya sedangkan kuburannya tidak diratakan, atau melakukan shalat dengan menghadap kuburan.” [15]
Imam Syafi’i juga berkata, “Dimakruhkan menembok kuburan, menulis nama yang mati (di batu nisan atau yang lainnya) di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat bangunan di atas kuburan.” [16] Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang menyalahkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.” [17]
Imam Syafi’i juga menegaskan, “Saya tidak menyukai ada makhluk yang diagung-agungkan sehingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir terjadi fitnah (pengkultusan) pada dirinya pada saat itu, atau orang-orang yang datang sesudahnya mengkultuskan dirinya.” [18]
Sementara itu, Imam Nawawi mengatakan, “Dimakruhkan menembok kuburan, mendirikan bangunan, dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas tanah kubur yang diwakafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan. [19]
Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang kesembilan puluh tiga, sembilan puluh empat, sembilan puluh lima, sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memasang lampu di atasnya, menjadikan ibarat berhala yang disembah, thawaf mengelilinginya, mengusap-usap dengan tangan, dan shalat menghadap kepadanya….”. Kemudian beliau berkata lagi, “Peringatan! Enam perbuatan itu dimasukkan ke dalam katagori dosa-dosa besar, seperti terdapat dalam pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, hal itu tampak diambil dari hadits-hadits yang telah saya sebutkan.
Tentang menjadikan kuburan sebagai masjid, hal itu sudah jelas, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang-orang yang melakukan hal itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menilai, orang-orang yang melakukan hal itu terhadap kuburan-kuburan orang-orang shaleh dari umat beliau, sebagai makhluk terburuk pada Hari Kiamat nanti. Itu semua merupakan peringatan bagi kita, seperti dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan akan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.” [20]
Maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umatnya dengan hadits itu, agar umatnya tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, dengan demikian beliau akan dilaknat seperti dilaknatnya orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid, maksudnya adalah shalat di atas kuburan atau shalat dengan menghadap kuburan (tanpa dinding pembatas). Maka kata “shalat menghadap kepadanya (ke arah kuburan)” merupakan pengulangan, kecuali apabila yang dimaksud dengan “menjadikan kuburan sebagai masjid” itu adalah “shalat di atasnya” saja.
Memang kesimpulan hukum keharaman itu. Dapat diterima apabila kuburan itu dimuliakan seperti kuburan seorang nabi atau wali, seperti yang disitir dalam riwayat Imam Muslim, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila terdapat orang-orang shaleh…” [21]. Oleh karena itu, para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, “Haram hukumnya, shalat menghadap kubur para nabi dan para wali.” Serupa dengan itu, shalat di atas kuburan, mencari keberkahan, dan mengagungkan kuburan.
Adapun perbuatan itu dimasukkan ke dalam kategori dosa besar yang nyata, hal itu sudah jelas dari hadits-hadits tersebut. Dan dapat dikiaskan dengan hal itu, segala sesuatu yang intinya pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lampu di atasnya dalam rangka mengagungkan kuburan, mencari berkah dari kuburan dan thawaf mengelilingi kuburan dalam rangka mengagungkan atau mencari berkahnya. Dan pengkiasan ini tidaklah jauh, lebih-lebih Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan dalam hadits tersebut, bahwa orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan akan dilaknat oleh Allah.
Adapun menjadikan kuburan sebagai sesembahan (berhala), hal itu dilarang, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Jangan kamu menjadikan kuburku sebagai berhala (sesembahan) yang disembah setelah aku meninggal dunia.” [22]
Maksud hadits ini adalah, jangan kamu mengagungkan kuburku seperti penganut agama lain, mengagungkan sesembahan-sesembahan (berhala-berhala)nya dengan sujud atau yang lain.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami selanjutnya mengatakan, “Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini harus diartikan lain, yaitu haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat itu diterima dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari generasi ke generasi.
Bangunan-bangunan di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih berbahaya daripada masjid dhirar. Membuat bangunan itu merupakan tindakan durhaka (maksiat) kepada Rasulullah, karena beliau melarangnya, dan beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah. Sedangkan lampu-lampu yang dipasang di atas kuburan haruslah dihilangkan, dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu untuk kepentingan tersebut. [23]
Sementara itu Imam Nawawi mengatakan “Tidak boleh melakukan thawaf mengelilingi makam Rasulullah. Tidak boleh pula menempelkan badan (perut dan punggung) pada dinding makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Pendapat ini diucapkan oleh Imam Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa makruh (tidak boleh) hukumnya mengusap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menciuminya. Yang baik sesuai dengan tata krama, adalah berdiri tegak jauh dari kubur Nabi n, seperti halnya orang yang berada di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau masih hidup, berada agak jauh dari beliau.
Ini adalah pendapat yang benar, yang diucapkan oleh para ulama, dan mereka semua berpendapat sama. Dan seseorang hendaknya jangan terkecoh oleh pendapat dan perbuatan sementara orang-orang awam yang berlawanan dengan pendapat para ulama tadi, karena cara untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengamalkan suatu ajaran adalah hanya berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan pendapat para ulama. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka, di mana perbuatan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n, maka hal itu tidak dapat dipertimbangkan.
Sementara orang barangkali terdetik dalam hatinya, bahwa mengusap dengan tangan itu lebih mengena untuk mendapatkan berkah, maka hal itu menunjukkan kebodohan dan kedunguan yang bersangkutan. Sebab berkah itu akan dapat diperoleh hanya dengan perbuatan yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana mungkin kemurahan Allah dapat diperoleh melalui perbuatan yang bertentangan dengan ajaran yang benar?” [24]
Imam al-Baghawi mengatakan, “Makruh hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan, kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya”. [25]
Sementara dalam kitab al-Minhaj dan Syarahnya, karya Imam Ibnu Hajar, terdapat keterangan yang intinya, “Dimakruhkan menembok kuburan dan membuat bangunan di atasnya. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan, karena ada larangan yang shahih terhadap ketiga perbuatan ini, baik tulisan itu berupa nama mayit yang dikubur maupun tulisan yang lain, dan baik tulisan itu di atas papan yang dipasang di atas kepala mayit maupun di tempat yang lain.
Memang, Imam al-Adzra’i pernah membahas tentang diharamkannya menulis ayat-ayat al-Qur’an di atas kuburan. Hal ini karena perbuatan itu dapat melecehkan al-Qur’an, di mana ayat-ayat itu akan diinjak-injak, dan terkena najis oleh nanah orang-orang mati, apabila terjadi pemakaman yang berulang-ulang. Begitu pula bila turun hujan. Imam al-Adzra’i juga mengkaji tentang dianjurkannya menulis nama mayit saja untuk sekedar diketahui sepanjang tahun, terutama kubur para nabi dan orang-orang shalih.
Beliau mengatakan, ‘Sekarang hal itu tidak diamalkan lagi. Karena para imam kaum muslimin dari timur sampai barat ditulis namanya di kubur-kubur mereka. Perbuatan ini diambil oleh orang-orang belakangan dari orang-orang dahulu. Dan hal itu dilarang secara umum dengan adanya larangan membangun diatas kuburan. Membangun di atas kuburan tentunya lebih besar dari sekendar menulis sesuatu di atas kuburan. Dan hal ini banyak terjadi di kuburan-kuburan yang mewakafkan fi sabilillah (musabalah), seperti terdapat, khususnya di Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain. Padahal mereka sudah tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan.
Apabila anda tahu bahwa perbuatan itu sudah merupakan ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama) sehingga hal itu dapat menjadi hujjah (argumen, dalil) sebagaimana mereka katakan, maka kami menjawab, bahwa hal itu dilarang, meskipun banyak dilakukan orang. Sebab perbuatan itu tidak pernah dinyatakan sebagai hujjah, meskipun oleh para ulama yang berpendapat bahwa hal itu dilarang.
Sekiranya perbuatan itu dapat disebut sebagai ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama), maka hal itu dapat menjadi dalil dan dapat dipakai pada saat keadaan zaman itu baik, di mana amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat dikerjakan. Dan ternyata sejak masa yang lama hal itu tidak berjalan.
Apabila ada orang membangun kuburan yang sama dengan yang sudah ada, dan tidak untuk keperluan seperti yang sudah disebutkan di muka, dan itu sudah jelas. Maka seperti apa yang difatwakan oleh sejumlah ulama, bahwa semua bangunan yang ada di tempat yang akan dipakai untuk mengubur mayat di Mesir, sampai kubah Imam kita Syafi’i yang dibangun oleh seorang raja Mesir, harus dihancurkan. Semua orang seharusnya merobohkan bangunan-bangunan seperti itu, selama tidak khawatir akan terjadi mafsadah (hal-hal yang tidak diinginkan).
Apabila khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal itu harus dilaporkan kepada imam (penguasa) agar ia menangani hal tersebut.” [26]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar